» Energi harus tersedia dengan harga terjangkau, dari sumber yang hijau atau tidak mencemari lingkungan.

» Wujud komoditas ekspor sebagian besar masih dalam bentuk bahan mentah yang nilai tambahnya kecil.

JAKARTA - Sektor energi, pangan, dan kesehatan perlu diarahkan untuk lebih berkelanjutan ke depan. Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, di Jakarta, Selasa (20/12), mengatakan energi, pangan, dan kesehatan adalah sektor yang sangat fundamental sehingga harus terus ditangani ke depan.

Suahasil dalam webinar Indonesian Economic Outlook 2023 mengatakan energi harus tersedia dengan harga yang terjangkau dan dari sumber yang hijau atau tidak mencemari lingkungan.

Sementara itu, pangan perlu berkelanjutan dengan pembangunan infrastruktur, pemenuhan kebutuhan petani terhadap tanah, dan pembuatan pasar untuk pangan yang baik.

"Sektor kesehatan juga menjadi sangat penting. Kita mesti menyeimbangkan permintaan dan supply, karena kebutuhan rumah sakit, sumber daya manusia, jaringan, dan pelayanannya," katanya.

Ketiga sektor tersebut dapat dikembangkan agar berkelanjutan dengan menggunakan produk-produk dari dalam negeri yang akan memberikan dampak berlapis terhadap perekonomian nasional. "Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia baru harus kita dapatkan dari hilirisasi sumber daya alam. Kalau ada larangan ekspor, itu bukan tujuan, tujuannya hilirisasi agar sumber daya alam kita diproses di dalam negeri," jelasnya.

Perekonomian yang ramah lingkungan juga perlu terus diterapkan karena ekonomi hijau akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru Indonesia ke depan.

"Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga merupakan salah satu cara ke depan untuk menghasilkan perekonomian yang berkelanjutan. UMKM juga katalis pertumbuhan ekonomi lokal dan dekat dengan produk lokal," katanya.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Sri Rahardjo, pada Selasa (20/12), mengatakan Indonesia sesungguhnya memiliki comparative advantage karena didukung dengan volume produksi yang besar dan kesesuaian dengan kondisi daerah tropis.

Sayangnya, wujud komoditas yang diekspor tersebut sebagian besar masih dalam bentuk bahan mentah yang nilai tambahnya masih sedikit, misalnya sebagian masih berupa CPO (crude palm oil) atau rempah-rempah dalam kondisi utuh dan mentah.

"Selain masih sedikitnya input teknologi untuk mendiversifikasi produk turunan dari komoditas tersebut, sekarang kita dihadapkan dengan tantangan untuk memproduksi komoditas tersebut secara berkelanjutan," katanya baru-baru ini.

Dalam pidato berjudul Pangan Berdaulat, Generasi Sehat, Bangsa Bermartabat, Sri Rahardjo mengatakan komoditas bangsa saat ini memiliki keunggulan komparatif, tetapi persaingan perdagangan global saat ini dan ke depan menuntut adanya keunggulan kompetitif (competitive advantage).

Jika tidak dipersiapkan dan direspons dengan benar dan baik, akan dapat mengalami nasib yang sama dengan produksi dan ekspor biji kakao. Indonesia hanya mampu menjadi pengekspor biji kakao sebagai bahan baku, sementara nilai tambah yang besar dinikmati oleh industri cokelat di negeri tujuan ekspor.

"Lebih memprihatinkan lagi, ternyata untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan cokelat di dalam negeri pada beberapa tahun ini kita pun harus mengimpor biji kakao dari negara lain," katanya.

Untuk mencapai target tingkat kedaulatan pangan ke depan, Indonesia tidak bisa lagi hanya mengerjakan dengan meneruskan program dan kegiatan rutin yang sudah berjalan selama ini.

Faktor Penentu

Pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Teuku Riefky, sepakat bahwa pangan dan energi menjadi faktor penentu ke depannya. Khusus energi, dia berharap pemerintah dan negara-negara di dunia fokus pada pengembangan dan pemanfaatan energi ramah lingkungan.

Upaya menjaga ketahanan energi dan pangan, katanya, jangan hanya menggunakan poal pilir sesaat dan untuk jangka pendek saja, tetapi jangka panjang.

Dalam jangka panjang energi hijau ini tentu dampaknya besar karena emisi yang dihasilkan dari energi fosil akan mengganggu pertumbuhan ekonomi, kesehatan, dan dampak sosial negatif yang cukup besar.

Dia mengakui kalau transisi energi cukup costly sehingga perlu dicari sumber pendanaan yang affordable dan perlu bantuan private serta internasional. "Jadi, kuncinya pada kolaborasi semua pihak agar sumber energi hijau ini bisa dioptimalkan," pungkasnya.

Baca Juga: