Konflik Iran dan Israel seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah mengakselerasi transisi energi.

JAKARTA - DPR RI mempertanyakan keseriusan pemerintah mempersiapkan peta jalan energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2025 nanti dengan bauran target 23 persen. Sementara per tahun ini bauran EBT diperkirakan masih sekitar 12 persen.

"Kami pertanyakan keseriusan itu. Sebab dari kunjungan kami (Komisi VII) ke PT Bukit Asam Tbk (PTBA) telah melakukan kerja sama dengan perusahaan Tiongkok membangun PLTU berbasis batu bara," ujar anggota Komisi VII DPR RI, Andi Yuliani Paris, dikutip dari laman resmi DPR RI, Kamis (18/4).

Menurut Yuliana, hal tersebut akan menjauhkan target pemerintah dalam meningkatkan EBT dan mengurangi emisi karbon, di mana Indonesia bersama pemimpin-pemimpin berbagai negara dunia dalam COP28 telah sepakat mengurangi pemakaian energi fosil seperti batu bara.

"Belum lagi nanti ada carbon trading (perdagangan karbon), itu artinya akan ada pembayaran bagi industri yang mengeluarkan karbon dari sumber energinya. Jadi, kami pertanyakan kembali bagaimana keseriusan pemerintah dalam menerapkan target EBT ini?" ungkap Yuliani.

Dengan kunjungan ke produsen batu bara yang memasok PLTU di Sumatera Selatan kali ini, ia berpandangan pembangkit listrik non-EBT masih banyak. Politisi PAN tersebut berharap ada kejelasan data soal progres jumlah pembangkit EBT yang sudah beroperasi.

"Saya juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi misalnya tertulis pembangkit ini yang akan dibangun oleh PLN menggunakan EBT," katanya.

Dia memperingatkan agar target-target yang dicanangkan jangan hanya sebatas di atas kertas saja, namun realisasinya harus jelas.

Secara terpisah, pengamat ekonomi, Salamudin Daeng, menegaskan semestinya perang Iran dan Israel menjadi momentum bagi pemerintah mengakselerasi transisi energi. Apalagi bertepatan dengan reaksi climate change.

"Indonesia yang menjadi gudang green energy perlu memanfaatkan moment ini, apalagi reaksi dunia terkait kenaikan harga minyak akibat perang tidak lagi seperti dulu. Artinya, dunia mulai meninggalkan energi fosil menuju green energy," ucap Daeng.

Tetap Stabil

Kenaikan kurs dollar AS (USD) atas rupiah akhir-akhir ini serta eskalasi konflik Iran-Israel ditengarai akan mempengaruhi sektor energi nasional, khususnya yang berbahan bakar minyak. Meski demikian, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Bambang Haryadi, optimistis sektor energi masih stabil dan mengimbau agar tidak panik.

"Soal harga dollar itu memang baru-baru ini ya, kenaikannya masih fluktuatif. Kita harus berpikir positif," ujar Bambang.

Dari sisi energi, dia menyampaikan parlemen bersama pemerintah sepakat untuk fokus mengawal Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru.

Apalagi dalam rencana ke depan, menurut Bambang, Indonesia perlahan sudah mulai meninggalkan energi berbahan bakar fosil. Hal ini selaras pula dengan revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 telah sejalan dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

Sepengetahuan Bambang, setidaknya dalam revisi kali ini, PLN berencana menambah porsi pembangkit energi baru dan terbarukan sebesar 75 persen.

"Kami pada dasarnya terus menggenjot seluruh pembangunan dalam RUPTL. Sebab, nantinya pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan berkaitan dengan ketersediaan energi," sebut Bambang.

Baca Juga: