» Sensus pertanian 2003- 2013 menunjukkan lima juta petani gurem keluar dari pertanian.

» Reformasi agraria belum berjalan optimal di tengah alih fungsi dan menciutnya lahan petani.

JAKARTA - Penurunan produksi yang mengancam ketahanan pangan ditengarai disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perubahan iklim yang berdampak pada cuaca dan ketidakpastian musim tanam, kemudian yang kedua mengenai kebijakan sektor pertanian yang kurang optimal mendukung penggunaan input seperti program bantuan dan subsidi pupuk yang terkendala, disparitas harga, dan penggunaan bibit unggul.

Selain itu, petani sebagai produsen utama dihadapkan pada keterbatasan kesempatan kerja di perdesaan, menurunnya kepemilikan lahan pertanian oleh rumah tangga pertanian, sehingga menyebabkan semakin banyak petani yang menjadi petani penggarap atau buruh tani, serta keterbatasan pengetahuan dan akses terhadap penggunaan input yang optimal.

Head of Agriculture Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, dalam keterangannya menyatakan berdasarkan statistik produktivitas padi, kedelai, dan bawang merah cenderung landai dalam beberapa tahun terakhir, masing-masing di angka 5 ton per hektare gabah kering giling, lalu 1,5 ton per hektare biji kering, dan 10 ton per hektare.

Sementara itu, produktivitas jagung menunjukkan tren yang meningkat dengan capaian 5,5 ton pipilan kering per hektare pada 2019 lalu.

Belajar dari kesuksesan peningkatan produktivitas tanaman jagung, Aditya mengungkapkan salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendorong produktivitas tanaman padi yaitu dengan meningkatkan skala penggunaan varietas unggul, khususnya padi jenis hibrida. Hingga saat ini, tingkat penerimaan petani terhadap benih padi hibrida masih sangat rendah.

Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan petani saat ini memerlukan pendapatan dari luar pertanian karena semakin menciutnya lahan mereka dan tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga lagi.

"Berdasarkan Sensus Pertanian 2013 saja, sebesar 18 persen petani pemilik lahan keluar dari sektor pertanian, sedangkan petani penggarap yang tidak mempunyai lahan (buruh tani) 32 persen keluar dari pertanian. Produktivitas yang stagnan dan lahan pertanian yang semakin berkurang akan semakin memperkecil daya dukung lahan pertanian dewasa ini," katanya.

Petani, menurut Dwijono, bisa mendapatkan tambahan pendapatan dari sektor agroindustri yang mengolah hasil pertanian segar sebagai bahan baku perlu dikembangkan agar mendukung sektor pertanian.

"Petani bisa diarahkan untuk diversifikasi mengusahakan 'cash crops' seperti hortikultura berupa sayur-mayur dan aneka buah-buahan selain tanaman pangan yang memberi tambahan pendapatan yg memadai, termasuk pengusahaan hortikultura di atap rumah (roof top) jika lahannya berkurang," papar Dwijono.

Pada kesempatan lain, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengakui produksi yang melandai memang terjadi. Begitu pula penurunan kualitas lahan pertanian (degradasi agroekosistem), perubahan iklim, sampai ketidakpastian harga juga menjadi persoalan serius yang dihadapi petani.

Kepemilikan lahan menurut data sensus pertanian 2003-2013 menunjukkan lima juta petani gurem keluar dari pertanian. Hal itu berarti ada lahan yang hilang atau terkonversi.

Selain konversi, soal bagi waris juga menjadi penyebab makin rendahnya luasan kepemilikan lahan. Kalaupun tidak, petani sering kali melepas lahan pertaniannya karena adanya kebutuhan yang mendesak, sementara hasil dari lahan tidak memadai atau menurun.

"Jadi, penurunan kepemilikan lahan problem besarnya karena pendapatan yang rendah dan waris," kata Said.

Reformasi Agraria

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa, mengatakan reformasi agraria belum berjalan optimal di tengah alih fungsi lahan dan penguasaan lahan. Begitu pula pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan koperasi tani juga belum optimal.

"Ini yang belum benar-benar didorong, realisasi reformasi agraria dan pembangunan koperasi tani," kata Awan.

Secara terpisah, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan landainya produksi juga karena penurunan kualitas lahan karena kandungan bahan organik dalam tanah menyusut.

Baca Juga: