Segala kesan dan upaya intervensi pemerintah terhadap independensi lembaga negara, seperti BI dan OJK harus diminimalkan.

JAKARTA - Badan supervisi untuk Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diharapkan tetap berada di bawah DPR dan sejajar dengan pemerintah. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kesan dan praktik intervensi dari pemerintah terhadap independensi kedua lembaga tersebut.

Saat ini, beredar draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU Sektor Keuangan. Di dalam RUU tersebut, terdapat campur tangan Menteri Keuangan dalam penunjukan Dewan Pengawas BI dan Dewan Pengawas OJK.

"Pesan saya, badan supervisi jangan sampai berada di bawah Kementerian Keuangan atau pemerintah. Kalau hal ini terjadi, independensi dari setiap lembaga akan menjadi sensitif," ujar Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah, dalam diskusi bertema RUU Sektor Keuangan: Sistem Keuangan Mau Dibawa ke Mana? di Jakarta, Selasa (30/3).

Saat ini sudah ada lembaga yang mengawasi BI yakni Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), sedangkan lembaga supervisi untuk mengawasi OJK sejauh ini belum ada. Peran utama dari BSBI sendiri adalah membantu DPR dalam mengawasi serta memberikan masukan kebijakan bagi BI untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, serta kredibilitas.

Piter menyatakan independensi lembaga negara seperti BI dan OJK akan menyangkut kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri, sehingga segala kesan dan upaya intervensi pemerintah terhadap independensi lembaga keuangan harus diminimalisir. Piter pun mengatakan setuju bahwa peran dan independensi setiap lembaga tersebut harus diperkuat.

Meski demikian, penguatan dan supervisi lembaga keuangan bukan berarti harus langsung berada di bawah pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, melainkan bisa melalui cara lain yang mampu menguatkan independensi. "Saya kira penguatan pengawasan tidak berarti harus berada di bawah Kementerian Keuangan," kata Peter.

Senada dengan Piter, Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) dari Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun, menilai adanya campur tangan pemerintah dalam penunjukan anggota dewan pengawas tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu independensi BI dan OJK dalam menjalankan tugasnya terutama saat menelurkan sebuah kebijakan. "Independensi inilah yang menjadi kunci kepercayaan dunia internasional terhadap salah satu negara," ujar Misbakhun.

Misbakhun juga memandang urgensi pembentukan RUU Sektor Keuangan tidak begitu mendesak, terlebih Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19. Menurutnya, ruang koordinasi antarlembaga pengawas masih bisa ditangani oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan tidak perlu mengubah susunan pengawasan.

Peran LPS

Sementara itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, berpendapat, selain BI dan OJK, lembaga independen seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) perlu memiliki peran yang lebih luas dari lembaga untuk mengantisipasi permasalahan lembaga keuangan di masa krisis.

Apalagi, dirinya melihat secara historis rentang waktu terjadinya krisis semakin lama semakin pendek.

Karena itu, menurutnya sektor keuangan harus dibuat kebijakan yang lebih mampu mengantisipasi ketika krisis itu terjadi. Selama ini, UU LPS hanya membolehkan lembaga tersebut melakukan penanganan setelah bank sudah dinyatakan gagal. Imbasnya, negara merogoh kocek lebih dalam untuk menyehatkan bank.

"Pengalaman kemarin banyak investor mau ambil bank, tapi maunya yang good asset. Bad asset-nya yang tidak mau. Karena tidak bisa dilakukan, banyak investor tidak jadi ambil bank," ujar Aviliani.

Baca Juga: