Judul : Menelusuri Zaman: Memoar dan Catatan Kritis Kwik Kian Gie

Penulis : Kwik Kian Gie

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Cetakan : I, Januari 2018

Tebal : viii + 260 halaman

ISBN : 978-602-03-7971-5

Kwik Kian Gie (KKG) terkenal sebagai tokoh yang idealis dan kritis terhadap berbagai persoalan yang dinilainya merugikan Indonesia. Buku ini menapaktilasi sikap KKG tersebut dan berbagai tantangan yang dihadapinya, termasuk dari sesama anak bangsa sendiri.

KKG lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah 11 Januari 1935. Selepas SMA (1955), KKG masuk Fakultas Hukum UI. Hanya bertahan enam bulan, ia merasa kuliah di fakultas hukum tidak sesuai dengan nuraninya. Ia pun meneruskan pendidikan di Nederlandsche Economische Hogeschool di Belanda. Alasan KKG belajar ekonomi karena kelak ia ingin menjadi politisi yang bisa menyejahterakan rakyat.

Kuliah di Belanda tak membuat nasionalisme KKG luntur. Justru kecintaannya kepada Indonesia semakin menguat. Ketika terjadi perang antara Indonesia dan Belanda karena masalah Irian Barat (1961), KKG menjalankan misi intelijen pro Indonesia di Belanda. Kegiatan intelijennya itu digunakan pihak Indonesia untuk melancarkan psychological warfare guna menarik perhatian dunia sebagai taktik untuk merebut Irian Barat (hlm. 36).

Cita-cita KKG untuk terjun ke dunia politik terwujud ketika pada 1986 ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (kemudian menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Di era reformasi, KKG menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua MPR (1999), Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri di era Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2000), dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di era Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004). Inilah bagian yang paling menarik dari buku ini karena banyak kesaksian KKG yang selama ini tak terungkap yang terjadi ketika ia menduduki jabatan-jabatan strategis tsb.

Ketika menjabat Menko Ekuin, Gus Dur membentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang diketuai Emil Salim dengan sekretaris Sri Mulyani. Ternyata DEN dibentuk Gus Dur sebagai jalan tengah menghadapi tekanan negara kreditor, lembaga internasional, dan "konglomerat hitam". Mereka tidak suka dengan KKG yang tidak bisa didikte sesuai kepentingan mereka dan menginginkan Gus Dur memecat KKG. Namun, Gus Dur menolak memecat dan sebagai komprominya dibentuklah DEN untuk "meredam" KKG.

Sebagai Menko Ekuin, KKG juga harus menghadapi persoalan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merupakan warisan krisis ekonomi 1998. Berdasarkan hasil audit investigasi BPK, kucuran dana kepada 48 bank itu yang jika dihitung dengan bunganya mencapai 1.030 triliun rupiah, 95,78 persen terindikasi dikorupsi.

Salah satu bank yang mendapat kucuran BLBI adalah BCA sebesar 60 triliun rupiah. BCA kemudian menjadi milik pemerintah karena tidak bisa mengembalikan BLBI. Anehnya, pemerintah kemudian menjualnya kepada pihak ketiga 5 triliun rupiah. Dari semua menteri terkait di era Presiden Megawati ini, seperti Menko Perekonomian Dorodjatun dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, menyetujui penjualan itu. Hanya KKG yang menentang dan kalah suara oleh mereka.

KKG pernah memutuskan bahwa semua uang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam bentuk BLBI harus dibebankan sepenuhnya kepada para pengusaha (obligor) yang bersangkutan. Bentuknya adalah jaminan pribadi (personal guarantee) tanpa batas waktu untuk seluruh jumlah yang terutang. Namun, oleh Menko Dorodjatun, keputusan KKG dicabut. Padahal, dengan "menggantung" para obligor itu dengan jaminan pribadi tanpa batas waktu, negara akan mendapatkan recovery rate yang jauh lebih tinggi karena kelak mereka mampu melunasinya. Lihatlah, betapa kaya rayanya para pengusaha itu sekarang, di tahun 2018 ini (hlm. 187).

Setelah tidak menjadi pejabat, KKG tetap menunjukkan sikap kritisnya. Pada kasus Bank Century, misalnya. Menurut KKG, fungsi Bank Century dalam industri perbankan hanya 0,68 persen dalam rasio DPB Bank/DPK industri dan rasio kredit bank/kredit industri hanya 0,42 persen. Maka fungsi Century dalam industri perbankan tidak ada artinya sama sekali. Karena itu, Century tidak akan berdampak sistemik. Boediono, Gubernur Bank Indonesia, memegang peran kunci dalam suntikan dana 6,72 triliun ru[iah kepada Century. Mengapa Boediono menjadi begitu tidak rasional? Kemungkinan ada yang menyuruh yang tidak dapat di-resist olehnya (hlm. 241).

Masih banyak kasus lain yang diungkap KKG dalam buku 29 bab ini yang selama ini tertutupi. Termasuk kasus ladang migas Blok Cepu, "perseteruan" KKG dengan kelompok ekonom "mafia Berkeley", politicking proyek Jembatan Suramadu, serta penjualan tanker Pertamina dan Indosat. Semua disikapi berbeda oleh KKG karena kecintaannya kepada Indonesia.


Diresensi Muhamad Ilyasa, alumnus UNJ

Baca Juga: