Publik Belarusia tidak percaya dengan hasil pilpres itu. Mereka menuduh pemerintah memanipulasi perhitungan surat suara dan menuntut dilakukannya perhitungan ulang suara.

Hasil pemilihan presiden (pilpres) Belarusia yang diumumkan pada Minggu (9/8) itu memicu kerusuhan besar di negara itu. Alexander Lukashenko yang telah berkuasa selama 26 tahun dinyatakan menang kembali, mengalahkan Svetlana Tikhanovskaya. Pria berusia 65 tahun itu memenangkan 80 persen suara sehingga kembali menduduki jabatan untuk periode keenam.

Publik Belarusia tidak percaya dengan hasil pilpres itu. Mereka menuduh pemerintah memanipulasi perhitungan surat suara dan menuntut dilakukannya perhitungan ulang suara.

Minggu (23/8), ratusan ribu demonstran mengepung kediaman Alexander Lukashenko dan berkumpul di Lapangan Kemerdekaan Minsk. Dalam demonstrasi hari ke-15 itu, para pengunjuk rasa terus menyuarakan tuntutan pengunduran diri sang pemimpin otoriter. Ini merupakan demonstrasi terbesar sepanjang sejarah negara bekas pecahan Uni Soviet tersebut.

Kerusuhan di Belarusia bukan berdiri sendiri, terutama Russia dan Amerika Serikat bersama sekutunya. Belarusia menjadi satu-satunya penghubung yang tersisa di koridor Laut Hitam Baltik, yang mencakup tiga negara, Baltik, Ukraina, dan Belarusia.

Kedekatan dan dukungan politik yang diberikan Presiden Russia, Vladimir Putin, kepada Lukashenko membuat AS dan sekutunya khawatir. AS dan Eropa sedang mempertimbangkan larangan perjalanan dan pembekuan aset terhadap 20 orang yang bertanggung jawab atas tindakan keras terhadap para demonstran di Minsk.

Presiden Russia, Vladimir Putin, tidak tinggal diam menghadapi campur tangan AS dan Uni Eropa itu. Kremlin membentuk pasukan polisi cadangan untuk mengamankan dan mendukung keterpilihan Lukashenko. Pasukan itu akan menjadi pemukul akhir bila kerusuhan tidak terkendali di Belarusia.

Negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pimpinan Amerika Serikat pun tidak tinggal diam. Mereka meningkatkan pertahanan di perbatasan. Respons Russia akan menjadi penentu apakah konflik Belarusia akan berubah menjadi medan pertempuran atau tidak.

Keterlibatan dua kekuatan global ini menandakan bahwa konflik di dalam negeri Belarusia sebenarnya bukan konflik antarpemilih semata. Konflik internal itu mengarah kepada suksesi kepemimpinan.

Apa yang dialami di Belarusia sebenarnya sama seperti yang dialami negara bekas pecahan Uni Soviet, mulai Russia hingga Turkmenistan, dari Ukraina hingga Uzbekistan. Tidak ada transisi suksesi damai di antara negara-negara bekas Uni Soviet. Negara yang masih muda itu memandang bahwa kelompok yang berani melawan, maka akan menghadapi tiga pilihan, yakni kematian, penjara, atau pengasingan.

Keterlibatan AS bersama sekutunya dan Russia telah menyebabkan konflik di Belarusia itu mengarah menjadi konflik global. Apalagi itu terjadi saat pandemi virus korona yang masih mewabah di seluruh dunia.

Dengan adanya dukungan penuh dari Vladimir Putin, posisi Lukashenko untuk tetap bertahan masih aman. Amerika Serikat dan Uni Eropa harus berpikir berulang kali untuk mengintervensi Belarusia secara militer. Russia kerap menggunakan aksi militer untuk memberikan dukungan kepada negara yang menjadi sekutunya. Itu terjadi di Georgia pada 2008 dan Ukraina pada 2014.

Secara ekonomi, Belarusia dengan penduduk hanya 10 juta jiwa memang tidak terlalu penting pada AS dan Uni Eropa. Yang dikhawatirkan Barat adalah hegemoni Russia yang didukung oleh Beijing. Isu ini sangat sensitif di tengah ketegangan antara Beijing dan Washington, serta jelang pemilu presiden AS.

Untuk jangka panjang, kepemimpinan generasi mendatang Belarusia sebenarnya akan lebih baik karena banyak penduduk berpendidikan tinggi. Satu kubu memiliki kedekatan psikologis dengan Russia dan Ukraina. Sementara kubu lainnya masih memiliki kedekatan dengan UE dan AS.

Dalam jangka pendek, bisa saja insiden buruk akan terjadi. Belarusia akan kolaps. Russia akan turun tangan. Perang global terjadi karena aktivasi militer Russia dengan konsekuensi destabilisasi Eropa. UE jelas tak menginginkan hal itu karena masih trauma dengan Perang Dunia I dan II. ν

Baca Juga: