JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyatakan kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim terus bertambah. Saat ini, kerugian ekonomi rata-rata 100 triliun rupiah per tahun dan diperkirakan akan terus bertambah. Pada 2050 mendatang kerugian ekonomi akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai 40 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Asisten Direktur Departemen Makropudensial BI, Heru Rahadyan, dalam diskusi bertajuk "Keuangan Berkelanjutan 101" oleh Bank Indonesia dan WWF Indonesia yang dilaksanakan secara daring di Jakarta, Rabu (31/8), mengatakan kerugian tersebut dapat mempengaruhi berbagai sektor ekonomi mulai dari masyarakat ekonomi atas hingga ekonomi menengah ke bawah, mulai dari perusahaan besar hingga Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
"Kalau pendapatan kita hilang 40 persen, itu kan efeknya banyak sekali. Ada yang jatuh miskin, perusahaan bangkrut," papar Heru.
Dia mengatakan kerugian sebesar 40 persen dari PDB pada 2050 nanti, jauh lebih besar dibandingkan dengan rata-rata global yang sebesar 18 persen. Hal itu karena dipengatuhi oleh kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara agraris.
"Kita lebih tinggi karena geografis Indonesia sangat rentan, kita lokasinya banyak gunung berapi yang berada di ring of fire (cincin api-red), ditambah penduduk yang tinggal di pesisir pantai dalam jumlah banyak, ada jutaan," kata Heru.
Sebagai negara kepulauan, ia menjelaskan perubahan iklim akan sangat mempengaruhi distribusi logistik ke seluruh wilayah karena mobilitas angkutan laut maupun udara sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca.
Sedangkan sebagai negara agraris, ia menyebut perubahan iklim akan sangat mempengaruhi produktivitas sektor pertanian dan perikanan, yang dimana proses produksinya sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca.
"Kita banyak nelayan, kalau gelombang tinggi atau badai, banyak yang tidak bisa melaut. Kemudian, kita agraris, pertanian dan perkebunan kalau kekeringan susah panen, kalau hujan juga susah panen," jelas Heru.
Dengan segala kondisi tersebut maka perubahan iklim akan berdampak besar terhadap logistik dan rantai pasok Indonesia, hingga nantinya akan berdampak ke perekonomian, perbankan dan sistem keuangan.
Transisi Dipercepat
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, yang diminta tanggapannya mengatakan ancaman perubahan iklim memang cukup serius. Oleh karena itu, pemerintah harus upaya melakukan transisi energi dengan lebih akseleratif.
Ia menjelaskan kajian yang dilakukan konsorsium universitas Inggris di 135 negara memperkirakan perubahan iklim dapat memangkas empat persen Gross Domestic Product (GDP) pada 2050.
Begitu pula dengan kajian dari World Meteorological Organisation (WMO) juga memperkirakan bencana yang disebabkan iklim atau climate induced disaster yang terjadi selama 50 tahun terakhir menyebabkan kerugian 202 juta juta dollar AS per hari.
"Satu lagi kajian menunjukkan kalau perubahan iklim menyebabkan kerugian 132 triliun dollar AS atau setara dengan 1,4 persen di 2050. Ini menandakan transisi harus dipercepar agar kita terhindar dari kerugian yang bisa berdampak pada hanyak sektor," tegas Fabby.