JAKARTA - Peningkatan kerja sama ekonomi dan kesehatan menjadi dua hal utama yang dibahas Indonesia dan Tiongkok saat menandai 70 tahun hubungan diplomasi kedua negara melalui percakapan telepon antara Presiden Joko "Jokowi" Widodo dengan Presiden Xi Jinping, awal pekan lalu.

Akan tetapi, di tengah optimisme tersebut beragam persoalan membelenggu, mulai dari ketegangan soal klaim maritim di Laut Tiongkok Selatan, kasus kematian anak buah kapal (ABK) hingga defisit perdagangan yang dialami Jakarta atas Beijing selama lebih dari satu dekade.

Direktur Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Santo Darmosumarto, menolak menyatakan bahwa beragam persoalan tersebut menghambat hubungan Indonesia dengan Tiongkok.

"Sewaktu pandemi terjadi, Tiongkok menjadi negara pertama yang warganya kita larang masuk ke Indonesia. Kalau kita pikir, Tiongkok harusnya sakit hati, tapi kan nyatanya tidak," kata Santo melalui sambungan telepon dengan BenarNews, Kamis (3/9).

Perihal sama menurutnya juga terjadi ketika Indonesia mengirimkan nota diplomatik kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada akhir Mei, sebagai bentuk penegasan kembali posisi Indonesia atas klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

Santo mengatakan, nota diplomatik tersebut adalah hal wajar yang akan dilakukan pemerintah kepada negara mana saja, termasuk dengan Tiongkok, yang menantang kedaulatan karena Indonesia tidak pernah akan mundur 'satu inci pun'.

"Tiongkok itu juga bagian dari hukum internasional, UNCLOS 1982. Kita istilahnya mengingatkan kembali yang perlu dikedepankan adalah kepatuhan terhadap hukum internasional. Dan kalau kita lihat perkembangannya saat ini kan terlihat bahwa Tiongkok memahami itu," kata dia.

Dalam sambungan telepon dengan Jokowi, Senin (31/8) malam, Xi Jinping menyampaikan bahwa Beijing menghargai status dan peran Jakarta dalam urusan regional dan internasional.

"(Pemerintah Tiongkok) siap bekerja sama dengan Indonesia untuk menegakkan sistem internasional yang berpusat pada PBB, meningkatkan tata kelola global, menjaga kesetaraan dan keadilan internasional, dan membangun komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia," menurut pernyataaan pemerintah Tiongkok yang dirilis Selasa (1/9) seperti dikutip dari BenarNews, Jumat (4/9).

Sejak ketegangan AS dan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan muncul, Indonesia selalu memposisikan diri sebagai pihak yang netral dan terus menyerukan dialog damai dalam penyelesaian masalah, meski aktivitas Beijing di dekat perairan Natuna ikut mengkhawatirkan Jakarta.

Pada akhir Juli, TNI AL melakukan latihan tempur di sekitar perairan Laut Jawa yang direncanakan hingga wilayah Natuna Selatan di Kepulauan Riau sebagai bagian dari kegiatan meningkatkan keterampilan pasukan "paling kompleks" itu selama sepekan.

Ketua Yayasan Pusat Studi Tiongkok, Rene Pattiradjawane mengatakan ketegangan yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan tidak bisa dilihat sebagai isu bilateral antara Indonesia dengan Tiongkok. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki klaim atas fitur dan kolom air di Laut Tiongkok Selatan dan Tiongkok bukan negara tetangga yang memiliki perjanjian perbatasan langsung.

"Dari awal Indonesia hanya menyatakan ingin menjadi honest broker untuk memberikan resolusi damai supaya ketegangan yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan itu tidak menjadi konflik yang terbuka dan berbahaya hingga mengancam stabilitas kawasan Asia Tenggara," kata Rene.

"Karena alasan ini, tidak tepat untuk melihat Laut Tiongkok Selatan sebagai isu bilateral. Bagi Indonesia, Laut Tiongkok Selatan harus diselesaikan dalam konteks multilateral," imbuh dia.

Penegakan hukum ABK

Hubungan bilateral Indonesia dengan Tiongkok juga tak lepas dari ujian kasus kematian, hilang, dan perbudakan yang dialami anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal berbendera Tiongkok.

Data yang dihimpun pejabat dan lembaga advokasi keselamatan ABK di Indonesia menyebut, sejak November 2019 hingga Agustus 2020, 16 pelaut Indonesia yang bekerja di sejumlah kapal penangkap ikan berbendera Tiongkok telah meninggal dunia karena dugaan kekerasan fisik dan perbudakan.

Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, lembaga nirlaba yang fokus terhadap masalah pekerja di laut, turut mencatat sebanyak dua ABK dinyatakan hilang selama periode yang sama dan puluhan lainnya melaporkan adanya kekerasan dan jam kerja berlebihan selama bekerja di atas kapal.

Dalam kunjungannya ke Tiongkok, akhir Agustus, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, menyampaikan kembali keprihatinannya atas kasus-kasus yang menimpa ABK dan meminta pemerintah Tiongkok untuk terlibat lebih dalam memastikan bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi lagi.

Menlu Retno juga meminta bantuan hukum dalam menghadirkan saksi sebagai bagian dari penyelidikan kematian ABK di kapal Long Xin 629.

Juru bicara Kemlu, Teuku Faizasyah, menekankan bahwa pemerintah memperjuangkan seluruh penanganan kasus kematian pelaut Indonesia di atas kapal Tiongkok, meski Menlu Retno hanya menyebut kasus Long Xin 629 kepada Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi.

"Kemlu selalu memintakan perhatian pemerintah RRT (Tiongkok) atas kasus-kasus yang menyebabkan ABK kita meninggal tersebut," ucap Teuku.

Senada dengan Teuku, Santo menjelaskan bahwa pemerintah perlu memastikan kasus-kasus mana dulu yang harus diprioritaskan penyelesaian hukumnya.

"Kita harus mengajukan kasus-kasus mana yang sudah cukup matang, artinya penyelidikan oleh polisi sudah lengkap, pemeriksaan tersangka dan sebagainya. Lalu kita bawa kepada pemerintah Tiongkok untuk selanjutnya meminta saksi, misalnya. Jadi kita tahu keperluan saksi ini untuk apa," kata Santo.

"Dari kunjungan Ibu Menlu ke Sanya kemarin, Tiongkok sudah menyetujui kerja sama hukum terkait permasalahan ABK WNI dan kita sepakat menyelesaikan apabila ditemukan hal-hal yang melanggar sesuai dengan prosedur hukum masing-masing negara," kata dia.

Rene Pattiradjawane mengatakan, persoalan yang menimpa pelaut Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontrak bisnis yang terjadi antara entitas bisnis Indonesia dengan Tiongkok, sehingga persoalan pada level tersebut juga perlu untuk diselesaikan.

"Dan semua kontrak dan perjanjian investasi pasti ada insiden yang terjadi, sehingga penyelesaiannya yang harus bisa diselesaikan secara seksama," kata dia.

Jalan panjang defisit perdagangan

Percakapan dua pimpinan negara pada Senin malam, turut membahas harapan akan hubungan bilateral yang terjalin lebih kuat dan saling menguntungkan di tengah berbagai tantangan yang muncul akibat wabah Covid-19.

Xi menyinggung investasi Tiongkok di Indonesia serta ekspor Indonesia ke Tiongkok tercatat terus meningkat meski terjadi wabah. "Hal ini menjadi bukti fondasi yang kokoh dan momentum kerja sama yang kuat antara kedua negara," kata Xi.

Di luar dari peningkatan performa perdagangan ini, Rene mengingatkan, Indonesia dan Tiongkok sejatinya masih terbelenggu dengan persoalan neraca dagang yang tidak seimbang.

"Hubungan bilateral RI-RRT itu memang menjadi unik, terutama dalam konteks perdagangan bilateral karena tidak seimbang dengan defisit perdagangan di pihak Indonesia yang membesar dan sudah berlangsung selama lebih dari 10 tahun," kata associate fellow pada Eastwest Institute ini.

Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, neraca perdagangan Indonesia terhadap Tiongkok memang tercatat defisit sejak 2008. Defisit terdalam tercatat pada 2018, dengan minus mencapai 18,4 miliar dollar AS.

Dalam hal ini, kedua negara juga masih belum menemukan titik temu bagaimana mengurangi defisit perdagangan yang terus membesar, meski di sisi lain, persoalan ini juga dihadapi dengan banyak negara termasuk Amerika Serikat.

"Karena semua produk-produk konsumtif, bahan baku, dan lainnya selama lebih dari 20-an tahun ini dipasok Tiongkok dengan harga yang sangat bersaing dan mudah didapat," kata dia.

Beijing menyatakan optimistisme bahwa kerja sama Indonesia dan Tiongkok akan semakin bersinergi didukung dengan kehadiran megaproyek Belt and Road Initiative (BRI), termasuk pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, dan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Laporan Bank Dunia pada 2018 menyebut BRI sebagai proyek ambisius Tiongkok untuk meningkatkan kerja sama regional dan konektivitas antarbenua.

Inisiatif ini bertujuan memperkuat infrastruktur, perdagangan dan investasi antara Tiongkok dengan 65 negara yang berkontribusi terhadap 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Program ini juga akan menyentuh 62 persen populasi serta 75 persen cadangan energi global, sebut Bank Dunia.

Presiden Jokowi, mengutip laporan Sekretariat Presiden, menyampaikan apresiasinya atas kerja sama investasi kedua negara yang terus menguat dan menggarisbawahi bahwa kerja sama ekonomi kedua negara tidak boleh berhenti meski dihadapi dengan pandemi Covid-19.

"Mengenai ucapan selamat peringatan 70 tahun hubungan bilateral kita, saya harapkan hubungan dan kerja sama antara dua negara akan lebih kuat dan saling menguntungkan," kata Presiden Jokowi.

Percakapan telepon kedua pimpinan negara ini adalah yang ketiga kalinya dalam delapan bulan terakhir, atau sejak kasus Covid-19 pertama kali ditemukan di Kota Wuhan.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok meningkat 11,74 persen menjadi 13,77 miliar dollar AS atau sekitar 203,88 triliun rupiah pada semester pertama 2020, dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu dengan nilai 12,32 miliar dollar AS atau sekitar 181,96 triliun rupiah.

Nilai investasi Tiongkok di Indonesia juga meningkat dari 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 32,49 triliun rupiah menjadi 2,4 miliar dollar AS (setara 35,45 triliun rupiah) di paro pertama tahun ini.

Vaksin sebagai ujian kerja sama

Pemerintah Tiongkok kembali menekankan bahwa Indonesia adalah mitra penting dan oleh karenanya, pihaknya sangat mementingkan kebutuhan Indonesia dalam hal kerja sama pengembangan vaksin untuk Covid-19.

Xi menyampaikan Tiongkok mendukung perusahaan kedua negara dalam melakukan kerja sama pengadaan dan produksi vaksin sehingga dapat membantu meningkatkan keterjangkauan vaksin baik di kedua negara maupun di seluruh dunia.

"Tiongkok sangat yakin Indonesia pada akhirnya akan mampu mengatasi pandemi ini dan (Tiongkok) akan terus mendukung Indonesia dalam memberikan bantuan material dan teknis sebanyak mungkin," kata rilis pemerintah Tiongkok.

Dua pekan lalu, Menlu Retno bersama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, melakukan kunjungan ke Tiongkok, salah satunya menghadiri penandatanganan kerja sama pengadaan bahan dasar vaksin dari perusahaan farmasi Tiongkok, Sinovac Biotech, kepada Bio Farma.

Kerja sama itu meliputi pengadaan bahan produksi vaksin yang dibutuhkan dalam hal pengembangan teknologi dengan total mencapai 40 juta dosis vaksin untuk periode November 2020 hingga Maret 2021.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Muhammad Zulfikar Rachmat, memandang vaksin sebagai salah satu alat tawar Tiongkok di tengah banyaknya proyek investasi yang ditanam Beijing di Indonesia namun terkendala progresnya karena pandemi.

"Tiongkok adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang sedang mengembangkan vaksin. Oleh karenanya, Tiongkok memiliki bargain power untuk bisa masuk ke beberapa negara, termasuk Indonesia," kata Zulfikar pada Rabu (2/9) lalu.

Zulfikar mengatakan, jika hasil uji klinis tahap ketiga pada enam bulan ke depan berhasil, maka hubungan Indonesia dengan Tiongkok bisa semakin menguat.

"Kalau tidak berhasil, kekhawatiran yang selama ini muncul bisa menjadi benar, bahwa Indonesia hanya dipakai sebagai tempat uji coba oleh Tiongkok," kata Zulfikar. "Selama ini, walau hubungannya kuat, hambatannya juga banyak," pungkas dia dia. I-1

Baca Juga: