Indonesia terancam memiliki daya tawar yang rendah terkait ekspor minyak sawit ke Eropa dengan alasan lingkungan.

JAKARTA - Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-European Free Trade Association/EFTA (IE-CEPA) dinilai memiliki sejumlah manfaat bagi Indonesia. Namun di sisi lain, ada beberapa klausul terkait perlindungan investor asing yang berpotensi merugikan Indonesia.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengemukakan kerja sama ekonomi RI-EFTA memang memiliki beberapa manfaat, antara lain pasar ekspor Indonesia menjadi semakin terbuka di Eropa, khususnya untuk ekspor produk bernilai tambah, mulai dari tekstil, makanan dan minuman, serta alas kaki, dan furnitur.

"Uni Eropa yang terdiri dari 28 negara, minus Inggris Raya yang mau keluar, konsumsinya mulai pulih pascakrisis Eropa 2013. Tercatat hingga Oktober 2018, nilai ekspor Indonesia ke Eropa berkontribusi 10,48 persen dengan nilai 14,3 miliar dollar AS," kata Bhima, di Jakarta, Senin (26/11).

Meski begitu, lanjut dia, bukan berarti perjanjian itu tidak membawa efek buruk bagi Indonesia. Dampak negatifnya, ungkap Bhima, dari perjanjian tersebut ada klausul terkait perlindungan investor asing yang cenderung merugikan Indonesia. "Klausul ISDS (Investor-State Dispute Settlement) menyebutkan bahwa investor bisa menggugat negara jika hak-haknya dilanggar. Indonesia akan rugi besar bila diseret ke ISDS," jelas dia.

Selain itu, perjanjian tersebut juga memuat klausul untuk menghilangkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang dinilai akan menghambat produk Eropa di Indonesia. Liberalisasi itu dinilai cukup berisiko meningkatkan impor barang jadi termasuk produk elektronik dari Eropa.

"Indonesia juga terancam memiliki daya tawar yang rendah terkait ekspor minyak sawit ke Eropa dengan alasan lingkungan," imbuh Bhima.

Menurut dia, meskipun perjanjian sudah masuk tahap final namun tidak akan mudah diratifikasi. "Bisa 3-5 tahun baru benar-benar terimplementasi karena butuh stempel DPR."

Sebelumnya dikabarkan, Indonesia menandatangani Pernyataan Bersama diselesaikannya perundingan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia- EFTA (IE-CEPA), di Sekretariat EFTA, Jenewa, Swiss, Jumat (23/11). Penandatanganan itu dilakukan Menteri Perdagangan RI bersama empat menteri negara EFTA, yang terdiri atas Swiss, Liechtenstein, Islandia, dan Norwegia.

Melalui IE-CEPA akses pasar barang antara Indonesia dan EFTA akan semakin luas, termasuk jasa dan investasi serta kerja sama ekonomi dan pengembangan kapasitas. Pada perdagangan barang, Indonesia akan memperoleh peningkatan akses pasar ke EFTA, antara lain produk perikanan, industri (tekstil, furnitur, sepeda, elektronik, dan ban mobil), serta pertanian (termasuk kopi dan kelapa sawit).

Pada perdagangan jasa, akses pasar bagi para pekerja Indonesia ke EFTA akan lebih terbuka. Contohnya, sektor jasa yang akan memperoleh keuntungan antara lain jasa profesi, telekomunikasi, keuangan, transportasi, dan pendidikan.

Transaksi Buruk

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ), Rahmi Hertanti, menilai Perjanjian IE-CEPTA adalah perjanjian dengan transaksi paling buruk. Sebab, diplomasi sawit yang menjadi prioritas perundingan telah mengabaikan hak-hak dasar publik yang seharusnya dilindungi oleh negara. Koalisi ini mengindikasikan bahwa perjanjian IE-CEPTA telah melakukan transaksi kepentingan antara isu kesehatan dengan sawit.

"Jika transaksi kepentingan sawit dengan kesehatan ternyata betul dilakukan, maka pemerintah Indonesia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang selama ini dilindungi HAM," kata dia. ahm/WP

Baca Juga: