Beberapa wajib pajak yang kategori menengah ke bawah yang dikejar, sedangkan orang menengah ke atas dibiarkan. Faktanya, banyak sekali mobil mewah punya tunggakan.

JAKARTA - Kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dengan memberikan keringanan pajak dan diskon terhadap penunggak pajak adalah kebijakan yang diskriminatif. Program keringanan pajak sering kali diluncurkan mendekati akhir tahun dengan dalih tunggakan pajak masih tinggi menandakan bahwa petugas pajak tidak kreatif dan tidak tegas.

"Faktor utama kebijakannya tidak jelas. Karena kebijakan penghapusan pajak setiap tahun diberlakukan keringanan pajak, tapi tunggakan pajaknya tetap saja tinggi," kata Direktur Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, di Jakarta, Rabu (18/9).

Dia juga menilai bahwa petugas pajak yang telah mendapat gaji besar tidak proaktif membuat program yang bisa meminimalisir tunggakan pajak itu. Bahkan, katanya, Gubernur DKI Jakarta dan petinggi lainnya mendapat upah pungut pajak yang cukup besar, namun perolehan penerimaan pajak tidak berbanding lurus dengan upah pungut tersebut.

"Kedua, faktor petugas pajak yang tidak gesit, tidak proaktif. Ketiganya pengawasan nggak ada di lapangan. Ketika petugas pajak melakukan pemungutan, tidak ada pemantauan," ucapnya.

Menurutnya, keringanan pajak dan penghapusan sanksi itu tidak akan berjalan efektif. Sebab, ucapnya, penunggak pajak yang seharusnya disanksi malah diberikan diskon atau keringanan pajak. Sementara wajib pajak yang taat tidak diapresiasi.

"Penegakkan hukumnya lemah. Tidak jalan. Jadi, orang kena sanksi itu tidak jelas arahnya. Termasuk petugas pajak ketika di lapangan, apakah melaksanakan dengan baik tugasnya, itu sehingga masalah tunggakan pajak itu berulang-ulang. Di penghujung tahun selalu ada keringanan pajak," jelasnya.

Sosialisasi Pajak

Dia berharap, BPRD DKI Jakarta berkoordinasi dengan RT/RW secara terus menerus untuk menyosialisasikan program taat pajak. Dia juga meminta petugas pajak tidak tebang pilih dalam memungut pajak. Saat ini, katanya, masih ada wajib pajak besar yang diduga kongkalikong dengan oknum petugas pajak agar kewajiban membayar pajaknya tidak tertunaikan.

"Ada beberapa wajib pajak yang kategori menengah ke bawah yang dikejar. Sedangkan orang menengah ke atas dibiarkan. Kita buktikan banyak sekali banyak mobil mewah, punya tunggakan juga. Sehingga terlihat ada diskriminasi, ketidakadilan, sehingga masyarakat enggan berpartisipasi membayar pajak," ungkapnya.

Menurut Trubus, Pemprov DKI Jakarta harus membuat sistem yang transparan untuk memudahkan masyarakat melihat hasil penggunaan pajak yang dibayarkannya. Hal ini diyakini bisa mendorong masyarakat untuk taat membayar pajak.

"Menurut saya, sumber persoalannya adalah kurangnya sosialisasi ke masyarakat agar ada kesadaran taat pajak. Lalu pemanfaatan pajak itu kurang transparan. Selama ini pajak mereka itu digunakan untuk apa saja, kan mereka tidak tahu dan tidak merasakan hasil pajak, sehingga mereka lebih memilih tidak bayar pajak," ujarTrubus. pin/P-5

Baca Juga: