Untuk mendukung pertambangan batu bara di Sawahlunto, Sumatera Barat, pemerintah kolonial Belanda membangun berbagai fasilitas salah satunya adalah jaringan rel kereta api batu bara, beserta stasiunnya. Pembangunan jalur kereta api dilakukan oleh Perusahaan Kereta Api Negara Sumatra Staats Spoorwegen (SSS).

Pembangunan tersebut dimulai dari Teluk Bayur-Padang Panjang-Bukittinggi dan bercabang dari Padang Panjang-Sawahlunto. Sampai tahun 1892 perkembangan pembangunan jalur kereta api tersebut sudah mencapai Muara Kalaban.

Demi menjangkau lokasi pertambangan batu bara Sawahlunto, pembangunan jalur kereta api dilanjutkan dari Halte Muara kalaban berbelok ke arah utara dengan melalui sebuah terowongan dan jembatan yang melintasi Sungai Lunto sepanjang 30 meter. Tanggal 1 Januari 1894 jalur tersebut dibuka bersamaan peresmian Stasiun Kereta Api (Spoorwegstation) Sawahlunto.

Stasiun tersebut beralamat di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Pasar, Kampung Teleng, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto. Bangunan tersebut selain sebagai stasiun kereta untuk keperluan pariwisata sekarang telah menjadi Museum Kereta Api Sawahlunto.

Dulunya museum itu adalah Stasiun Kereta Api Sawahlunto mulai dibangun pada tahun 1912. Bangunan stasiun terdiri atas bangunan utama yang beratap luas dan lebar untuk melindungi satu jalur rel tempat kedatangan dan keberangkatan barang dan penumpang.

Sedangkan bangunan yang terletak di kiri-kanan bangunan utama kantor bagi PT KAI yang baru dibangun sebagai pengganti ruangan yang terpakai sebagai museum. Ciri bangunan kolonial pada bangunan ini dapat dilihat dari struktur umumnya bangunan stasiun yang dibangun periode kolonial Belanda di Sumatera Barat, ciri lain bentuk atap dan dinding yang tebal.

Stasiun Sawahlunto memiliki lima jalur kereta api dengan jalur 3 merupakan sepur lurus. Emplasemen sisi utara dan selatan stasiun telah tertimbun oleh tanah dan aspal jalan akses yang terletak di sebelah timurnya dan dijadikan lapak PKL.

Kini hanya 3 jalur yang dapat dijadikan sebagai jalur langsiran. Di jalur ke 4 yang dimatikan ditempatkan sebuah patung JW IJzerman, seorang ahli pertambangan dan sekaligus pendiri Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedangkan jalur 5 stasiun telah sebagian tertimbun tanah.

Stasiun ini memiliki dipo lokomotif yang khusus untuk merawat lokomotif legendaris E1060 yang dikenal dengan nama "Mak Itam".

Mak Itam sempat tidak bergerak dari relnya. Apalagi sejak Desember 2003 Stasiun Kereta Api Sawahlunto mati suri karena minimnya produksi batu bara untuk dibawa dengan kereta api. Namun masyarakat Sumatera Barat beruntung karena sejak 20 Desember 2022 mereka dapat melihat Mak Itam aktif kembali menelusuri jalur antara Stasiun Sawahlunto hingga Stasiun Muaro Kalaban.

Panjang jalur antara dua stasiun tersebut sekitar 4 kilometer. Dari panjang itu 828 meter berupa berupa terowongan atau disebut dengan lubang kalam. Jalur yang dilalui Mak Itam yang dibangun pada 1892 itu sudah mati sejak lama.

Demi menjaga aset PT KAI sekaligus untuk menunjang daya tarik pariwisata kota tambang, diaktifkan kembali setelah berhenti beroperasi sejak 2014. Rencananya rute Mak Itam akan diperpanjang dari Sawahlunto hingga Silungkang.

hay/I-1

Baca Juga: