Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan, kepemimpinan perempuan di sektor publik sebagai pengambil kebijakan publik sangat penting. Hal tersebut dapat mendorong lahirnya kebijakan yang inklusif.

JAKARTA - Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan, kepemimpinan perempuan di sektor publik sebagai pengambil kebijakan publik sangat penting. Hal tersebut dapat mendorong lahirnya kebijakan yang inklusif.

"Penting terutama bagi lembaga pemerintah yang memiliki tugas untuk menyusun kebijakan yang mempromosikan pembangunan inklusif, berkelanjutan, dan adil untuk semua," ujar Lisa, saat memberikan sambutan dalam agenda "Women in Government Forum" di Jakarta, Kamis (25/4).

Dia menyebut, kesenjangan partisipasi perempuan sebagai pengambil kebijakan publik menyebabkan masih banyaknya regulasi atau kebijakan yang bias gender dan netral gender. Di sektor ASN saja, jumlah perempuan yang menempati posisi tinggi masih sedikit, padahal jumlah ASN didominasi oleh perempuan.

"Bahkan dalam posisi JPT Utama saat ini, hanya terdapat tiga perempuan (BPS, BMKG, dan BPOM)," jelasnya.

Lisa mengungkapkan, untuk dapat berpartisipasi aktif dalam meningkatkan karier, perempuan membutuhkan dorongan dari kebijakan-kebijakan yang afirmatif. Upaya ini diperlukan mengingat perempuan sering kali harus dihadapkan pada situasi yang kurang mendukung.

Dia menambahkan, kondisi tersebut disebabkan tidak hanya karena kebijakan atau peraturan yang belum responsif gender atau karena norma, tradisi dan budaya yang ada di lingkungan. Perempuan juga belum mendapat dukungan untuk memasuki dunia kerja.

"Mendorong peningkatan persentase perempuan yang lebih tinggi di sektor publik memberikan dampak terhadap peningkatan kesetaraan gender di ranah publik, penurunan pelanggaran hak asasi manusia, dan menghapuskan pelanggaran hak atas integritas pribadi perempuan oleh aparat negara," terangnya.

Dia menerangkan, saat ini diketahui ketimpangan gender di Indonesia masih cukup tinggi meskipun terus menerus mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh partisipasi perempuan dalam ketenagakerjaan masih jauh tertinggal dari laki-laki dan adanya kesenjangan upah cukup tinggi.

"Perempuan juga masih dihadapkan pada isu beban ganda dalam menjalankan berbagai aktivitasnya, termasuk isu glass ceiling dan sticky floor yang menghambat karier dalam pekerjaan mereka," ucapnya.

Sebagai informasi, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, indeks ketimpangan gender tahun 2018 sebesar 0.499, dan tahun 2022 menurun menjadi 0.459. Pada dimensi pasar tenaga kerja, angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan sebesar 54,42 persen dibanding TPAK laki-laki sebesar 83,98 persen.

Baca Juga: