Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia membuat pemerintah mengucurkan dana 695 triliun rupiah guna mencegah terus meluasnya penyebaran. Di sisi lain, kementerian keuangan juga mengatakan, belanja pemerintah pada semester II-2020 diperkirakan melonjak hingga 1.306,7 triliun rupiah. Sementara itu, untuk semester I belanja negara mencapai 668,5 triliun rupiah. Jadi pada akhir tahun, diperkirakan belanja pemerintah menjadi sekitar 1.975 triliun rupiah.
Angka-angka tersebut adalah uang rakyat dan jumlahnya sangat besar. Maka bila pengeluarannya tidak diawasi, bisa bocor di mana-mana. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi salah satu pengawas penggunaan keuangan negara. Sesuai dengan Pasal 2 dan 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014, BPKP bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional.
Maka, tanggung jawab BPKP sangat besar agar pembangunan berjalan baik, tidak terjadi penyimpangan anggaran. Lantas langkah seperti apa yang dilakukan Kepala BPKP, Muhammad Yusuf Ateh, dalam mengawasi pelaksanaan penggunaan anggaran sebesar itu demi Pemulihan Ekonomi Nasional. Wartawan Koran Jakarta Djati Waluyo berkesempatan mewawancarainya. Berikut kutipannya.
Terdapat begitu besar anggaran negara untuk pembangunan, pengatasan pandemi, dan pemulihan ekonomi. Bagaimana kesiapan Bapak sebagai pengawas?
BPKP memang sudah dari awal diamanahkan oleh Bapak Presiden untuk melakukan pengawalan, pengawasan terhadap seluruh pengeluaran yang terkait dengan penanganan Covid-19 dan dampaknya. Hal ini mulai dari kesehatan, Jaring Pengaman Sosial (JPS) sampai dengan pemulihan dampak Covid-19. Yaitu bagaimana kita memulihkan ekonomi negara yang diatur dalam PP 23 2020. Isinya, BPKP memang diamanahkan untuk melakukan pengawasan internal atas pelaksanaan program pembangunan.
Konkretnya?
BPKP mengoordinasikan seluruh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Pertama-tama, kami memetakan risiko. Jadi, misalnya, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) memberikan bantuan segala macam, kami buatkan peta risikonya sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah. Kami ingatkan di sana banyak lubang. Memberi bantuan sosial kepada masyarakat ada risikonya. Misalnya, tidak tepat sasaran, tidak tepat waktu. Semua itu dipetakan dulu.
Dengan melihat berbagai risiko tersebut, kami lalu membangun sistem pencegahan supaya risiko-risio tersebut tidak terjadi. Begitu cara berpikirnya tugas pengawas, terutama BPKP. Jadi apa pun program pemerintah, termasuk progam PEN, sistem pengawasan kami, ada semua.
Lalu, sekarang seperti apa bentuk petanya?
Sudah ada semua. Seperti sekarang, pemerintah ingin memberikan bantuan modal ke Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang tidak bankable (tidak fasih perbankan). Nah, untuk mereka ini, kami juga sudah membentuk petanya. Misalnya, soal data lokasi/daerah. Apakah nanti tepat sasaran. Lalu, siapa yang menerima. Itu semua kami buatkan petanya dulu.
Hal itu penting untuk membantu Kementerian Koperasi dan UKM supaya yang diinginkan Bapak Presiden memberi bantuan modal kepada para pedagang kecil, pengusaha-pengusaha ultra mikro ini, bisa terlaksana. Dengan begitu, ekonomi Indonesia harus pulih di kuartal III. Kita nanti akan menggerakkan seluruh APIP. Mereka akan di-briefing tingkat provinsi. Giliran selanjutnya, provinsi akan memberi briefing seluruh APIP kabupaten/kota. Kemudian semua bergerak mendata by name dan by address seluruh pengusaha kecil. Ini yang namanya mengawal.
Bagaimana operasionalnya pengawasan itu sendiri?
Kalau sudah praktik, misalnya, kami mengecek penyalurannya ke lapangan. Sampai tidak bantuan tersebut? Ada sembako, bantuan sosial tunai (BST), atau alat-alat kesehatan. Kita mengecek apakah semua sampai ke daerah tujuan? Kalau sampai, apakah jumlahnya cocok. Misalnya, dikirim lima, kok hanya sampai tiga. Di mana yang dua?
Jadi ini sudah mulai melihat langsung implementasinya. Sebab tadi, baru tingkat perencanaan audit. Sekarang sudah implementasinya. Ini untuk melihat apakah saat eksekusi, benar-benar sesuai antara perencanaan dan pelaksanaan. Kita mengecek, apakah ada uang yang tidak tersalur. Apakah ada yang tersalur ke tempat lain? Lalu bagaimana penyalurannya. Juga dicek apakah penyaluran bantuan sampai kepada target.
Kalau terjadi pelanggaran, apa langkah yang diambil?
Kalau terjadi seperti itu, kita perbaiki dan rekomendasikan untuk mengembalikan uangnya. Andai saja tidak mau mengembalikan uangnya, baru kita serahkan ke kejaksaan atau polisi. Tapi langkah ini tidak pernah kami publikasikan atau diramaikan. Banyak juga kejadian seperti itu, tetapi kita kerja diam, agar fokus, tidak ramai. Apalagi situasinya tengah pandemi seperti ini.
Dalam pengawasan yang berjalan, apakah ada temuan-temuan dari program-program penyaluran PEN tersebut?
PEN yang sudah keluar jalan kan pos-posnya banyak. Tapi belum seluruhnya berjalan. Yang berjalan baru ke UMKM. Saat ini, prosesnya sedang kita periksa dulu calon debiturnya benar atau tidak. Lantaran lagi proses, mungkin pekan depan mulai dibayarkan.
Lalu penjaminan modal sebelum ini dilakukan oleh Askrindo senilai 30 triliun rupiah yang di BRI, Mandiri, BNI, BTN. Bank-bank ini akan menyalurkan ke UMKM yang bankable. Untuk kehati-hatian, bank punya cara-cara tersendiri. Kami akan masuk kalau kelak terjadi kredit macet. Baru kita periksa.
Bansos menyalurkan dana yang amat besar. Apa pengawasan yang dilakukan BPKP agar peyaluran bansos terserap maksimal?
Bansos ini kan banyak, baik dananya, penerimanya, jenisnya, dan ada puluhan juta penerimanya. Maka, kuncinya ada di data yang terintegrasi. Karena data yang pertama kali dipakai adalah Data Terpadu Kesejahterahan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial di mana data ini dibangun tahun 2012. Mestinya, data tersebut setiap satu atau tiga bulan diperbarui (update).
Siapa yang harus meng-update?
Yang meng-update ya tentu daerah masing-masing. Daerah harus mengecek apakah ada orang/penerima yang sudah meninggal? apakah ada yang sudah naik kelas dari miskin menjadi kaya. Data seperti itu harus di-update. Tapi kenyataannya, banyak sekali daerah yang tidak pernah meng-update data. Lalu, dengan data yang tidak pernah diperbarui itu, tiba-tiba sekarang diperlukan. Karena data yang dipakai tidak pernah diperbarui, maka ketemulah orang yang sudah meninggal. Itu wajar. Masa, sudah delapan tahun (sejak 2012) tidak ada yang meninggal atau tidak ada yang naik kelas menjadi kaya.
Masalah data tidak diperbarui ini kenapa bisa terjadi?
Orang kita ini sebenarnya belum terlalu aware tentang data. Harusnya semua Pemda melakukan redata (mendata ulang). Jadi, ada pendataan ulang. Sebab ada saja yang dulu tidak terlalu miskin. Mereka ini sekarang masuk miskin karena terjadi pandemi. Makanya Pemda harus mendata semua. Kabupaten, kota, dan provinsi harus mendata lagi.
BPKP memiliki perwakilan di daerah. BPKP juga memegang data DTKS yang ada di kabupaten, kota, dan provinsi. Jadi, data tersebut bisa dipadukan. Setelah diaudit, 40 persen ada yang namanya masuk DTKS dan di provinsi. Kalau terjadi ganda (dobel) sebenernya tidak masalah, kalau semua ter-cover. Baru terjadi masalah, kalau ada yang menerima bantuan dobel (dua kali). Itu baru masalah. Lebih bermasalah lagi, kalau ternyata juga ada yang tidak kebagian.
Makanya, data itu bergerak terus di pemda. Sampe sekarang pun ada perubahan terus dan dipegang oleh setiap perwakilan di daerah. Makanya untuk Juli ini kita sepakat dengan Kemensos. Nanti kemensos akan mendata. Sedangkan bantuan tunai akan dilakukan bank-bank pemerintah (Himbara) dan kantor pos. Kami akan memberikan nama-nama ke daerah-daerah yang kami terima dari pusat lalu kami koordinasikan dengan para gubernur. Karena by name by address maka ini akan ter-cover 70 persen. Jadi, yang menerima kepala keluarga. Mudah-mudahan akan lebih tepat sasaran.
Apa kunci dari segala keberhasilan program ini?
Kuncinya di data. Makanya, BPKP sekarang mengumpulkan sseluruh data tersebut dari berbagai pihak. Nanti kalau itu sudah terlaksana, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa kalau sudah dilakukan provinsi, sisanya dikerjakan daerah dengan BLT Dana Desa. Untuk saat ini, yang baru mau bergerak itu pemberian bantuan modal kerja. Menurut Bapak Presiden hal ini untuk mereka yang tidak terdaftar di bank.
Ada UMKM yang sudah bankable. Lalu bagaimana BPKP mengantisipasi UMKM macam itu, agar tidak menerima bantuan yang mestinya untuk UMKM yang unbankable?
Ya menggunakan data. Sebab data bank sudah ada. Kemungkinan data orang-orang ini masuk ke dalam data bansos, bukan data di bank. Nanti diidentifikasi langsung ke lapangan bersama-sama pemda, dinas UMKM, dan APIP. Pokoknya, kuncinya adalah data. Kalau data berantakan, ya akan kacau.
Bagaimana koordinasi antarlembaga dalam mengantisipasi penyelewengan dan data yang kurang tepat?
BPKP ada di perwakilan provinsi. Tapi memang tidak ada ada di kabupaten/kota. Selain itu, jumlah pegawai BPKP sedikit. Jadi, tentu saja dengan kondisi seperti ini yang meliputi hampir seluruh unsur masyarakat di seluruh wilayah Indonesia kita akan berkerja bersama-sama. Dari pengalaman, setiap saya selesai mem-briefing para perwakilan, biasanya mereka langsung gantian memberi pengarahan kepada APIP provinsi, kabupaten, dan kota. Mereka langsung berkoordinasi. Ini kita kondisikan seperti itu. Kita buatkan pedoman, lalu kita koordinasikan.
Saat ini kita berada di seluruh gugus tugas daerah. BPKP memang menjadi bagian di dalam gugus tugas daerah. Informasi-informasi termasuk data dari setiap perwakilan itu kita koordinasikan dengan seluruh daerah. Selain ada di satgas-satgas, petugas kami juga ada di Kemensos, Kemenkop dan UKM, serta Kemenkes, sehingga koordinasinya lancar. Makanya, kita tidak pernah terpisah. Kita masuk ke dalam menjadi satu.
Dari hasil pengawasan ini, apakah ada temuan yang harus segera ditangani sendiri oleh BPKP atau diserahkan kepada aparat?
Selama ini, kita dengan seluruh daerah membuat MoU. Misalnya, antara BPKP dan gubernur. Kemudian, dengan kejaksaan tinggi. Kita juga bisa melibatkan seluruh kejari untuk berkoordinasi dan bersinergi. Jadi, selama ini, kita berjalan bersama mereka setiap kali ke lapangan. Sejauh ini, setiap ada temuan selalu langsung ditindaklanjuti. Kita bilang, kalau kamu tidak perbaiki ini, ya akan berurusan dengan kejaksaan.
Sekarang kita berjaga di depan karena tidak mau uang sudah habis, baru kita periksa dan tangkap. itu percuma. Penjara juga penuh dan akan membuang-buang uang negara. Makanya, kita jagain sebelum kejadian. Jadi, kita sudah bilang kepada kejaksaan, kalau pelanggar tidak mau melaksanakan rekomendasi kita, urusannya dengan kejaksaan. Sampai saat ini, semua berterima kasih ketika kita koreksi. Malah sekarang belum mulai program, mereka sudah bertanya, apakah penyelenggaraannya sudah benar. Inilah yang namanya pengawalan dari depan agar tidak terjadi masalah di kemudian hari.
Laporannya seperti apa?
Laporannya, pertama kepada menteri bersangkutan. Kalau belum audit, diberi (tanda) atensi.
Setiap ada atensi itu dilaporkan langsung?
Iya, langsung. Misalnya, untuk perwakilan di provinsi kepada gubernur. Demikian untuk kabupaten ke bupati, dan kota ke wali kota. Banyak surat atensinya. Jadi, atensi apa yang sudah ditemukan dan dikumpulkan ke daerah dilaporkan ke pusat setiap Jumat. Sampai kini ada ratusan atensi.
Misalnya ada daerah yang penyerapan anggarannya kurang, lalu bagaimana?
Ya, kita dorong langsung ke daerah melalui perwakilan ke bupati atau wali kota. Sebab uangnya sudah dikirim oleh pemerintah pusat. Ya, karena tadi, masalah data. Siapa yang dapat nih, 'berantem' dulu. Sebab tidak semua desa perlu bantuan tersebut karena sudah makmur.
Apa yang akan berdampak langsung ke pemulihan ekonomi?
Yang mungkin akan sangat berdampak adalah pemberian bantuan hibah modal kerja ini. Sebab penyerahanya akan mencakup orang. Uang tersebut akan banyak menggerakkan perekonomian masyarakat.
G-1