Ukuran demokrasi di desa yang paling mudah adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, penguatan peran kelembagaan di luar pemerintah dalam hal ini BPD kelompok masyarakat dalam kontrol pembangunan desa
Jember, Jawa Timur - Pengamat politik Universitas Jember Hermanto Rohman MPA mengatakan masa jabatan kepala desa tidak boleh menghambat demokratisasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
"Dalam kasus berbeda, masalah masa jabatan kepala desa sudah pernah masuk dalam meja sengketa di MK," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (21/1).
Dalam amar putusan MK, lanjut dia, salah satu titik tekannya adalah masa jabatan kepala desa, yakni dengan masa jabatan 6 tahun dengan periodesasi masa jabatan paling banyak 3 kali masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014.
"Hal itu merupakan perwujudan penyelenggaraan prinsip demokrasi sekaligus merupakan semangat pembatasan yang dikehendaki UUD 1945," tuturnya.
Menurutnya semangat demikian dapat dicontoh dengan adanya pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Turunan semangat UUD 1945 tersebut juga tercermin dari pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
"Dalam putusan Putusan MK Nomor 42/PUU-XIX/2021. Artinya masa jabatan kepala desa juga semangatnya tidak boleh menghambat demokratisasi sebagaimana dijamin dalam UUD 1945," katanya.
Ia menjelaskan ukuran demokrasi di desa yang paling mudah adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, penguatan peran kelembagaan di luar pemerintah dalam hal ini BPD kelompok masyarakat dalam kontrol pembangunan desa.
"Serta akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat terkait implementasi pembangunan desa. Ukuran tersebut masih belum pernah ada evaluasi dan progres yang terukur dalam 9 tahun UU Desa diterapkan," ujarnya.
Hermanto mengatakan disetujui perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun tergantung kekuatan politik DPR dan juga eksekutif, namun isu politik yang menarik di tahun politik untuk dikapitalisasi oleh semua kepentingan politik.
"Namun kembali lagi bahwa hakekat pengaturan materi perpanjangan dalam UU juga tidak boleh lepas dari substansi dari materi UUD 1945. Kalau itu akan diakomodasi dalam revisi UU, maka akan rentan dan juga celah digugat dalam MK," ujarnya.