JAKARTA - Politik adu gagasan adalah salah satu momen yang sangat krusial dalam rekruitmen kepemimpinan nasional melalui Pilpres 2024.

Dengan adu gagasan yang terselenggara melalui event-event debat maupun diskusi yang diselenggarakan oleh institusi-institusi masyarakat sipil, publik secara terbuka, transparan dan inklusif dapat mempertanyakan, menyetujui, menyanggah, mendukung dan menolak visi-misi yang ditawarkan oleh para kandidat pasangan Capres-Cawapres.

Dalam politik adu gagasan, akan tampil kualitas dan kompetensi masing-masing pasangan sehingga warga memiliki gambaran kemana masa depan Indonesia akan dibawa dalam arah lima tahun kedepan. Melalui politik adu gagasan, warga memiliki alasan yang jelas saat memilih dalam Pilpres 2024.

Politik adu gagasan juga memiliki peran penting untuk memoderasi agar potensi polarisasi dan pergesekan keras di akar rumput dapat bertransformasi menjadi ruang publik komunikatif dalam membangun demokrasi yang lebih beradab.

Demikian paparan panjang dari Pengamat Politik dari Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi saat diminta pandangannya mengenai arti penting adu gagasan bagi kontetasi Pilpres 2024, Kamis (30/11).

Airlangga menyayangkan, dari berbagai event diskusi yang terselenggara untuk merealisasi politik adu gagasan dalam ranah masyarakat sipil, tercatat setidaknya 11 kali pasangan Prabowo-Gibran absen dalam diskusi dalam rangka adu politik gagasan tersebut. Sementara pasangan Ganjar-Mahfud MD hanya 1 kali absen dan Anies-Muhaimin juga 1 kali absen.

Banyaknya ketidakhadiran dari pasangan Prabowo- Gibran dalam diskusi politik serta adu gagasan diantara pasangan lain dalam diskusi di ruang publik, menurut Airlangga, memperlihatkan kekalahan pikiran dan nalar publik dari pasangan tersebut dihadapan pasangan lainnya dalam proses politik yang tengah bekerja.

"Kekalahan gagasan tersebut memperlihatkan keterbatasan politik gimmick yang diusung oleh Prabowo-Gibran. Politik gimmick yang hanya pada tingkat permukaan tersebut merupakan bagian dari strategi politik komunikasi bercorak manipulatif yang ditawarkan kelompok tersebut ke publik," papar Airlangga.

Dengan asumsi bahwa dengan menawarkan politik joged gemoy, riang gembira dan seterusnya, publik teralihkan dari persoalan-persoalan krusial bangsa saat ini dan masa depan yang membutuhkan kualitas kepemimpinan yang kredibel dan memiliki kualitas tinggi.

Airlangga memaparkan, apabila melihat salah satu konsentrasi para pasangan capres dan cawapres adalah kalangan Millenial dan Gen Zi, politik gimmick dari pasangan Prabowo-Gibran menunjukkan ketidaktepatan anggapan mereka, yang cenderung underestimate terhadap kalangan muda. Pasangan tersebut beranggapan bahwa kaum muda tidak memiliki cara pandang kritis dan mendalam dan mudah dirayu oleh hal-hal yang bersifat permukaan.

"Dengan menggunakan strategi tersebut, mereka berusaha mengalihkan rangkain persoalan yang melekat pada pasangan tersebut seperti dugaan pelanggaran HAM, problem pelanggaran etika berskala berat salam kandidasi Gibran, maupun kekhawatiran mobilisasi aparatur negara untuk mengintervensi pilpres," tandas Airlangga.

Berbeda dengan pandangan di atas, menurut Airlangga, sebetulnya kita bisa menyaksikan kritisisme kaum muda masih begitu kuat dalam politik di Indonesia, terbukti dengan suara-suara kritis terhadap kecenderungan pelemahan demokrasi yang berlangsung dan dikritisi oleh kalangan mahasiswa.

Baca Juga: