JAKARTA -Obesitas pada anak merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian di Indonesia, yang berdampak pada anak-anak dan remaja. Data dariPopkin, Corvalan and Grummer Strawn (2020),menunjukkan bahwa Indonesia saat ini menghadapi tiga beban malnutrisi (TBM), dengan peningkatan dramatis kasus kelebihan berat badan dan obesitas di masyarakat, termasuk di kalangan rumah tangga berpendapatan rendah.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pada 2018, 1 dari 5 anak usia sekolah atau 20 persen, atau sebanyak 7,6 juta anak dan 1 dari t remaja atau 14,8 persen, atau sebanyak 3,3 juta, di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas.

Direktur Eksekutif di International Pediatric Association, Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI, menjelaskan, obesitas pada anak diukur menggunakan kurva referensi yang mencakup pengukuran berat badan dan tinggi badan. Jika kurva menunjukkan angka persentil di atas 85, itu menandakanoverweightatau kelebihan berat badan. Jika angka persentil di atas 95, maka dapat dikatakan obesitas.

"Ketika anak itu sudah bertahun-tahun mengalami obesitas maka akan timbul warna kehitaman pada leher anak. Ini merupakan tandaacanthosis nigricans(AN), suatu kelainan kulit yang umum terjadi pada anak gemuk," katanya dalam diskusi bertema mengatasi masalah obesitas pada anak di Indonesia di Jakarta, Selasa (5/3).

Ia menyarankan untuk mewaspadai hal tersebut karena anak dengan AN memiliki kemungkinan lebih besar daripada anak yang tidak menderita kelainan yang sama untuk mengalami gangguan insulin. Selain itu kelebihan lemak di seluruh tubuh juga dapat menyebabkan anak obesitas sering mengalami sesak napas.

Menurut Prof. Aman, data menunjukkan bahwa sekitar 15-16 persen anak yang masih menjadi siswa SD di Jakarta mengalami resistensi insulin, sementara 34 persen anak SD di Jakarta telah mengalami hipertensi. Dengan kondisi ini, risiko penyakit diabetes dan penyakit lainnya pada anak-anak ini hampir pasti meningkat.

Untuk penanganan anak yang telah mengalami obesitas, disarankan untuk menghindari makanan yang diproses, mengonsumsi lima kali buah dan sayur per hari, tidak duduk lebih dari dua jam sehari, berolahraga selama satu jam setiap hari, dan mengurangi konsumsi gula atau gula tambahan.

Dengan prevalensi obesitas anak yang tinggi di Indonesia, penting untuk menyadari seriusnya kondisi ini dan memulai perubahan gaya hidup sehat dari tingkat keluarga. Kemitraan strategis antar pemangku kepentingan diperlukan untuk mendorong perubahan kebijakan yang berkelanjutan dalam mengatasi masalah ini.

Founder dan CEO CISDI Diah Satiyani Saminarsih,, menekankan pentingnya membaca label kandungan gizi makanan dalam pencegahan dan penanganan obesitas pada anak. Memperhatikan kandungan gizi membantu memahami apa yang dikonsumsi.

"Namun, jika akses terhadap makanan yang tinggi gula, yodium tinggi, dan minuman dengan gula tinggi tidak dibatasi, akan sulit bagi orangtua untuk membentuk pola makan dan hidup yang sehat. Selain itu, faktor harga juga berperan penting. Jika harga makanan murah, cenderung itulah yang akan dibeli," terangnya.

Ia menyarankan, keluarga perlu membentuk pola konsumsi yang sehat, dengan dukungan kebijakan dari pemerintah. Kemenkes telah mendorong penerapan aturan cukai pada makanan dan minuman yang mengandung pemanis untuk membantu mengurangi konsumsi gula sesuai anjuran pemerintah, serta mencegah dan mengatasi obesitas serta penyakit lainnya yang berhubungan dengan obesitas," paparnya.

Wakil Menteri Kesehatan, Kementerian Kesehatan Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, KEMD, PhD, mengatakan, menurut data dari Riskesdas, obesitas di Indonesia meningkat dari 10,05 persen pada tahun 2007 menjadi 21,8 persen pada tahun 2018. Obesitas pada anak juga berpotensi menyebabkan resistensi insulin dan berdampak pada penyakit diabetes dan gangguan kardiovaskular.

"Seiring dengan Indonesia yang sedang menyiapkan Indonesia Emas 2045, kita juga harus mempersiapkan anak-anak Indonesia untuk bebas dari obesitas dengan memberikan contoh asupan makanan sehat. Dengan kerja sama strategis dari semua pemangku kepentingan, kami percaya hal ini akan membantu memperkuat upaya penyebaran informasi mengenai faktor risiko obesitas pada anak dan cara pencegahannya," ucapnya.

Duta Besar Denmark untuk Indonesia H.E. Sten Frimodt Nielsen menyatakan dukungannya untuk upaya kolaboratif dari para pihak ini. Dalam pandangannya obesitas pada anak adalah masalah kesehatan global yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.

"Hal ini merupakan masalah serius yang berdampak pada sistem kesehatan nasional. Oleh karena itu, kita membutuhkan kolaborasi yang kuat, tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari sektor swasta, untuk bekerja sama dalam mengatasi obesitas pada anak," ungkap dia.

Vice President dan General Manager Novo Nordisk Indonesia Sreerekha Sreenivasan, menambahkan, selama bertahun-tahun, Novo Nordisk Indonesia berkomitmen untuk mendorong perubahan pada obesitas. Perusahaan ini secara aktif meningkatkan kesadaran dan melakukan edukasi untuk mencegah obesitas pada anak.

"Melalui berbagai inisiatif dan kolaborasi dengan berbagai pihak dari pemangku kepentingan, seperti pemerintah, para ahli, UNICEF, dan masyarakat secara bersama-sama, kerja sama ini akan meningkatkan jangkauan kami dan tentunya akan membawa perubahan pada kehidupan anak-anak Indonesia," katanya.

Baca Juga: