» Pengelolaan utang pemerintah tetap hati-hati dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas.

» Parameter rasio utang luar negeri terhadap PDB sudah tidak relevan sebagai patokan di masa krisis saat ini

JAKARTA - Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 sebesar 404,7 miliar dollar AS dinilai tetap terkendali dengan struktur yang sehat. Total utang tersebut terdiri dari utang sektor publik, yakni pemerintah dan bank sentral sebesar 194,9 miliar dollar AS dan sektor swasta, termasuk BUMN sebesar 209,9 miliar dollar AS.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Onny Widjanarko, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (17/7), mengatakan posisi utang luar negeri tersebut tumbuh 4,8 persen secara tahunan atau year on year (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada April 2020 sebesar 2,9 persen (yoy).

"Pertumbuhan dipengaruhi oleh transaksi penarikan netto utang luar negeri, baik oleh pemerintah maupun swasta. Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) juga berkontribusi pada peningkatan utang luar negeri berdenominasi rupiah," kata Onny.

Menurut Onny, posisi ULN pemerintah pada akhir Mei 2020 tercatat sebesar 192,1 miliar dollar AS atau tumbuh 3,1 persen (yoy) terutama dipengaruhi oleh arus modal masuk pada pasar Surat Berharga Negara (SBN) seiring dengan meredanya ketidakpastian pasar keuangan global dan tingginya daya tarik aset keuangan domestik, serta terjaganya kepercayaan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia.

"Sentimen positif ini membawa pengaruh pada turunnya tingkat imbal hasil SBN sehingga biaya utang pemerintah dapat ditekan," katanya.

Pengelolaan utang pemerintah, jelasnya, tetap dilakukan secara hati-hati dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas yang saat ini dititikberatkan pada upaya penanganan wabah Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Sektor prioritas tersebut mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial dengan porsi 23,4 persen, sektor konstruksi 16,4 persen, sektor jasa pendidikan 16,3 persen, sektor jasa keuangan dan asuransi 12,6 persen, serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib 11,6 persen.

Sementara itu, utang luar negeri swasta meningkat didorong pinjaman perusahaan bukan lembaga keuangan. Pada Mei, utang swasta tumbuh 6,6 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 4,4 persen (yoy). Utang perusahaan bukan lembaga keuangan meningkat sebesar 8,9 persen (yoy), di tengah kontraksi utang lembaga keuangan sebesar 0,8 persen (yoy).

Beberapa sektor dengan pangsa terbesar yakni 77,3 persen adalah sektor jasa keuangan dan asuransi, pertambangan dan penggalian, pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin (LGA), serta industri pengolahan.

"Struktur utang luar negeri Indonesia tetap sehat, didukung penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya dengan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 36,6 persen, sedikit meningkat dibandingkan rasio bulan sebelumnya 36,2 persen," kata Onny.

Jangka Panjang

Meskipun meningkat, struktur ULN Indonesia tetap didominasi utang berjangka panjang dengan pangsa 89,0 persen. Dalam rangka menjaga agar strukturnya tetap sehat, BI dan pemerintah terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan, didukung penerapan prinsip kehati-hatian.

"Peran utang juga terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," kata Onny.

Ekonom Universitas Surakarta, R Agus Trihatmoko, mengatakan target peluncuran obligasi pemerintah untuk membiayai penanganan Covid-19 sekitar 1.400 triliun rupiah, otomatis akan memacu kenaikan utang luar negeri Indonesia. "Memang defisit anggaran lebih baik ditutupi dari utang, dari pada BI mencetak uang karena akan berisiko signifikan pada inflasi dan turunnya nilai rupiah," katanya.

Menurut dia, parameter rasio utang luar negeri terhadap PDB sudah tidak relevan sebagai patokan di masa krisis saat ini karena itu akan sulit dilakukan.

"Peluang yang sangat memungkinkan adalah penghematan belanja terutama yang tidak mendesak peruntukannya," kata Agus.

Namun demikian, infrastuktur untuk waduk dan pembangunan lumbung pangan harus tetap jalan untuk mendukung ketahanan pangan ke depan. Sebab, anggaran tersebut tidak terlalu besar dan outcome-nya akan produktif bagi sektor agro atau industrialisasinya. n yni/SB/E-9

Baca Juga: