Tren penurunan daya beli masyarakat masih berlanjut hingga 2023.

JAKARTA - DPR RI meminta pemerintah jangan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dari 11 persen tahun depan lantaran daya beli masyarakat kian terpuruk. Menaikkan tarif dikhawatirkan mengerek inflasi sehingga memperburuk ekonomi masyarakat.

Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam, mengatakan wacana perubahan ketentuan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 kontraproduktif dengan kondisi daya beli masyarakat saat ini.

Seperti diketahui, sumber PPN terbesar berasal dari dalam negeri, yaitu berupa konsumsi masyarakat dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri. Menurutnya, kenaikan tarif PPN selain akan memperlemah daya beli masyarakat, juga berpotensi meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional.

"Dengan tarif PPN yang belum lama dinaikkan jadi 11 persen saja, daya beli masyarakat langsung anjlok, bagaimana jadinya jika tarif PPN dinaikkan kembali? Otomatis masyarakat akan menjadi korban," ungkapnya di Jakarta, Kamis (14/3).

Merujuk pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) termaktub bahwa pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen yang diberlakukan mulai 1 April 2022, dan 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Disampaikannya, setelah adanya kenaikan PPN hal tersebut langsung berdampak pada daya beli masyarakat yang makin turun.

Anggota Badan Anggaran DPR RI mengatakan menurunnya daya beli masyarakat pada 2022 terlihat dari porsi konsumsi rumah tangga yang sebagian besar digunakan untuk barang habis pakai. Pendapatan yang diperoleh hampir seluruhnya untuk beli makanan dan perlengkapan rumah tangga.

Ecky menuturkan tren penurunan daya beli masyarakat masih berlanjut hingga 2023. "Fenomena 'mantab' (makan tabungan) masyarakat menengah pada 2023 menjadi isu yang hangat," lanjut Ecky.

Adanya hal tersebut sesuai dengan hasil survei konsumen yang dilakukan BI, di mana rasio konsumsi kelompok dengan pengeluaran di bawah lima juta rupiah sebagian besar mengalami penurunan. Penurunan paling dalam dicatatkan oleh kelompok pengeluaran 2,1-3 juta rupiah, diikuti kelompok pengeluaran 4,1-5 juta rupiah.

Selanjutnya, Ecky menilai penyesuaian tarif PPN berpotensi mendorong inflasi tinggi yang mengindikasikan harga-harga barang/jasa semakin mahal. Pada kelanjutannya akan membuat daya beli masyarakat makin terpuruk.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, menyebut Filipina misalnya, tarif PPN-nya tertinggi di Asean sebesar 12 persen, Indonesia 11 persen, Malaysia dan Kamboja, dan Vietnam masing-masing 10 persen, sementara Singapura, Laos, dan Thailand mencapai 7 persen. "Kalau tahun depan kita naik 12 persen, menjadi tertinggi di Asean," ungkap Said.

Konsumsi Lemah

Atas rencana pemerintah tersebut, Said juga menyoroti tingkat daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih jika dibandingkan dengan periode sebelum 2019 atau sebelum pandemi Covid 19.

Said menyebut konsumsi rumah tangga pada 2023 memang tumbuh 4,82 persen, tetapi perlu diingat, pertumbuhan ini masih lebih rendah dibanding dengan rata rata periode 2011-2019 di level 5,1 persen. "Kita juga bisa mencermati angka Indeks Pejualan Riil (IPR) antara periode sebelum Covid-19 dengan periode pemulihan sejak dua tahun lalu. Pada 2019 IPR sempat menyentuh 250, dengan angka terendah 220, sementara pasca-Covid-19, setidaknya pada 2023, IPR pada 2023 rata-rata di bawah 210," jelasnya.

Adapun Menteri Koordinator bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto, memastikan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen akan berlaku pada 2025.

Baca Juga: