Selain berdampak terhadap inflasi akibat lonjakan harga, kenaikan PPN dikhawatirkan dapat menggerus daya beli masyarakat yang baru pulih.

JAKARTA - Pemerintah perlu menunda kebijakan kenaikan PPN menjadi 11 persen dari ketetapan saat ini sebesar 10 persen. Pengetatan kebijakan fiskal tersebut dikhawatirkan mengerem proses pemulihan ekonomi nasional yang masih dibayangi ketidakpastian global.

Pengamat Ekonomi Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Dzulfian Syafrian, menilai akar masalah dari kenaikan PPN adalah cekaknya anggaran pemerintah karena dipicu sejumlah hal, termasuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). "Di sisi lain, penerimaan negara anjlok lantaran pelemahan ekonomi dan juga pemotongan PPh Badan," kata Dzulfian, di Jakarta, Rabu (23/3).

Alhasil, lanjutnya, pemerintah perlu mencari sumber pemasukan lainnya, salah satunya adalah dengan menaikkan PPN sebesar 1 persentase poin. Menurutnya, kenaikan PPN akan berdampak terhadap dua hal, yaitu akan terjadi kenaikan harga secara umum yang akan meningkatkan inflasi.

Selanjutnya, akan terjadi penurunan daya beli masyarakat karena harga-harga naik, namun tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan atau gaji. "Masyarakat akhirnya akan dirugikan dibanding sebelumnya akibat kebijakan ini," ujar Dzulfian.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menegaskan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen akan berlaku mulai 1 April 2022 demi menciptakan fondasi pajak negara yang kuat.

Dalam upaya pemerintah mereformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ditetapkan kenaikan tarif PPN 11 persen mulai 1 April 2022 dan kembali naik menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.

Sri Mulyani menuturkan kenaikan PPN ini masih tergolong rendah mengingat rata-rata PPN di seluruh dunia adalah sebesar 15 persen, sedangkan Indonesia hanya naik dari 10 persen menjadi 11 persen dan akan 12 persen pada 2025.

"Kita lihat mana yang masih bisa space-nya (untuk menyehatkan APBN). Indonesia setara dengan region atau negara OECD atau negara-negara dunia, tapi Indonesia tidak berlebih-lebihan (menaikkan tarif PPN)," jelas Sri Mulyani.

Dibayangi Ketidakpastian

Sayangnya, rencana kenaikan pajak penjualan tersebut dilakukan di tengah kondisi ekonomi nasional dibayangi ketidakpastian global, mulai dari dampak geopolitik, terganggunya rantai pasok global, dan rencana pengetatan moneter di sejumlah negara maju, terutama Amerika Serikat (AS).

Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 menjadi 5,4 persen dari prediksi awal 5,6 persen atau masih di kisaran proyeksi Bank Indonesia (BI) di rentang 4,7-5,5 persen dan sedikit di atas target pemerintah sebesar 5,2 persen. Meski demikian, IMF tetap mempertahankan perkiraan pertumbuhan Indonesia 2023 pada 6 persen.

Sayangnya, IMF tidak menjelaskan penurunan peringkat tersebut, tetapi mengulangi bahwa pertumbuhan Indonesia didukung oleh harga komoditas global yang menguntungkan, pelonggaran pembatasan Covid-19 dan peningkatan mobilitas di tengah upaya vaksinasi dan dukungan kebijakan yang berkelanjutan. Tercatat bahwa risiko tetap miring ke bawah.

Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 mencapai 3,7 persen. Capaian tersebut berbalik setelah perekonomian nasional terkontraksi 2,07 pada 2020 akibat dampak pandemi Covid-19.

Baca Juga: