Kenaikan suku bunga oleh BI yang diharapkan akan bisa meredam dollar AS, justru membuat rupiah makin terpuruk.

JAKARTA - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada November 2022 memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) dari 4,75 persen menjadi 5,25 persen. Sayangnya, keputusan BI tersebut dianggap belum mampu mengimbangi agresivitas pengetatan oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Fed.

Selain bunga acuan, bank sentral turut menaikkan suku bunga deposit facility dan lending facility masing-masing sebesar 50 bps menjadi 4,5 persen dan 6 persen.

"Keputusan ini sebagai langkah lanjutan secara front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam Pengumuman Hasil RDG Bulan November 2022 yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis (17/11).

Dia mengatakan keputusan tersebut juga untuk memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 2-4 persen lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah.

Dengan demikian, diharapkan rupiah bisa sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat kuatnya mata uang dollar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.

BI juga terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi melalui tujuh langkah. Pertama, memperkuat operasi moneter melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang sesuai dengan kenaikan suku bunga acuan tersebut untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasarannya lebih awal.

Langkah kedua yakni memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dengan tetap berada di pasar sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi, terutama imported inflation, melalui intervensi di pasar valas. Ketiga, melanjutkan penjualan/pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.

Perry melanjutkan, langkah keempat yakni dengan menerbitkan instrumen sukuk BI (SukBI) yang menggunakan underlying berupa surat berharga pembiayaan inklusif (SukBI inklusif) dan diakui sebagai Surat Berharga Pembiayaan Inklusif (SBPI).

Kelima, melanjutkan kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan melakukan pendalaman asesmen terkait respons suku bunga perbankan terhadap suku bunga kebijakan.

Kemudian, langkah keenam adalah terus mendorong penggunaan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) dan melanjutkan pengembangan fitur serta layanan QRIS termasuk perluasan QRIS antarnegara seiring dengan telah tercapainya target 15 juta pengguna baru QRIS pada Oktober 2022.

Terakhir, langkah ketujuh yaitu mendorong inovasi sistem pembayaran termasuk melanjutkan akseptasi BI-FAST kepada masyarakat melalui perluasan kepesertaan dan kanal layanan serta terus melanjutkan komunikasi publik secara berkala.

Kurang Agresif

Sementara itu, pelaku pasar uang tak terlalu merepons kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate (7-DRRR) menyusul pelemahan rupiah kemarin. Bank sentral dinilai lamban menaikkan 7DRRR.

"BI dianggap terlalu pelan dan kurang agresif menaikkan suku bunga," ujar Analis DCFX Futures Lukman Leong di Jakarta, kemarin.

Sebagai perbandingan, the Fed dalam rapat dewan kebijakan (FOMC) pada1-2 November lalu memutuskan menaikkan kembali suku bunga acuan sebesar 75 bps menjadi 3,75-4 persen. Ini merupakan kenaikan sebesar 75 bps yang keempat kalinya dalam empat pertemuan secara berurutan FOMC.

Lukman menambahkan kenaikan suku bunga oleh BI yang diharapkan akan bisa meredam dollar AS, justru membuat rupiah makin terpuruk.

Baca Juga: