JAKARTA - Pemerintah diminta tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) seiring penerapan pajak karbon tahun depan karena hanya menimbulkan masalah baru, terutama memicu kenaikan harga kebutuhan bahan pokok. Implikasi pajak karbon ini semestinya tidak dibebankan ke masyarakat, mengingat hal itu tanggung jawab industri.

Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda memperkirakan kenaikan harga BBM berpotensi memicu inflasi. Kendatipun aturan memberi tambahan biaya bagi pemasar tetapi itu tak lantas diikuti dengan menaikkan harga energi oleh pemasar.

"Dipastikan inflasi akan naik sehingga bisa menekan daya beli masyarakat. BBM ini merupakan salah satu yang mempunyai multiplier efek ke sektor lainnya yang sangat tinggi," tegas Nailul pada Koran Jakarta, Minggu (21/11).

Huda mengatakan kenaikan tarif BBM dapat mendongkrak biaya transportasi sehingga berpotensi memicu lonjakan harga bahan pokok. Efek lanjutannya, konsumsi rumah tangga akan tergerus tahun depan.

Situasi tersebut kontradiktif dengan pemulihan ekonomi. Terlebih tahun depan juga ada rencana kenaikan Tarif PPN (pajak pertambahan nilai) juga. "Jadi, kebijakan yang diambil kok justru kontradiktif dengan program pemulihan ekonomi nasional. Saya jadi melihatnya pemerintah tidak punya arah strategi yang jelas untuk memulihkan ekonomi," ungkap Huda.

Menurutnya, pengenaan pajak karbon yang dibebankan kepada masyarakat ini tak tepat. "Jangan jadikan pajak karbon jadi faktor menaikkan BBM. Toh, pas harga minyak dunia jatuh, harga BBM kita tetap tinggi. Pertamina untung banyak itu. Makanya tidak ada etikanya jika Pertamina menaikkan harga BBM dalam waktu waktu ini," tegas Huda.

Tambahan Biaya

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan penerapan pajak karbon (carbon tax) berpengaruh pada tambahan biaya dan harga baik di sektor hulu dan hilir bagi pemasar energi yang menghasilkan karbon.

"Ini tentu akan menyebabkan kenaikan harga baik di sisi hulu maupun di hilir bagi pemasar yang menghasilkan karbon," kata Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR, pekan lalu.

Seperti diketahui, tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar 30 rupiah per kg CO2e dimana berlaku pada 1 April 2022 di subsektor PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batu bara dengan skema cap & tax. Subjek pajak karbon sendiri merupakan orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau aktivitas yang menghasilkan karbon.

Baca Juga: