JAKARTA - Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) didesak untuk tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite. Saat ini, harga BBM dengan research octane number (RON) atau nilai oktan 90 itu memang di bawah harga keekonomiannya, tetapi sekarang daya beli masyarakat sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19.

Menaikkan harga BBM tersebut dinilai bukan langkah tepat di tengah pandemi Covid-19. Terlebih lagi, pembeli pertalite ini terbanyak dibanding bahan bakar jenis lainnya.

Pertamina merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi dengan salah satu fungsinya membantu pemerintah menata ekonomi masyarakat. Saat ini, pemerintah mendorong pemulihan ekonomi nasional. Apabila harga energi dipaksa dinaikkan, tentu akan mengganggu program pemerintah mendorong pemulihan.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radi, mengatakan momentum untuk menaikkan harga BBM tak tepat dilakukan saat ini. "Alasannya, kenaikan BBM saat ini akan makin memberatkan beban masyarakat yang baru terpuruk akibat pandemi Covid-19," tegas Fahmy pada Koran Jakarta, Kamis (28/10).

Mantan anggota Tim Pemberantas Mafia Migas itu menjelaskan tujuan meluncurkan pertalite dahulu adalah untuk bridging atau jembatan migrasi dari premium ke pertalite lalu pertamax. Dia menerangkan, saat harga minyak dunia sangat rendah, Pertamina tidak menurunkan harga BBM. "Saat itu, Pertamina meraup margin sangat besar. Mestinya, margin itu dapat digunakan untuk menutup kerugian saat ini," ungkap Fahmy.

Dia mengkhawatirkan kenaikan harga pertalite mengerek kenaikan harga bahan bahan pokok di masyarakat, termasuk tarif transportasi. "Beberapa hasil penelitian membuktikan kenaikan harga BBM akan menaikan harga kebutuhan pokok yang makin memberatkan rakyat," ungkap Fahmy.

Dia mengakui pertalite itu bukan BBM Penugasan, seperti premium ataupun BBM jenis tertentu seperti solar ataupun minyak tanah. Artinya, kewenangan untuk menaikkan harga ada pada badan usaha, bukan pemerintah.

Namun, kata dia, kebijakan ekonomi itu melihat kondisi riil di lapangan. Saat ini, masyarakat tengah berupaya bangkit dari keterpurukan. BUMN, tegas Fahmy, harus membantu memulihkan kondisi ini, tidak hanya fokus mencari keuntungan.

Selisih Harga

Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Soerjaningsih, mengatakan adanya selisih harga antara pertalite yang dijual Pertamina dengan harga keekonomiannya. Harga pertalite sebenarnya, terang dia, mencapai 11.000 rupiah per liter. Namun, Pertamina tetap menjualnya dengan harga 7.650 rupiah per liter. Untuk premium, harga keekonomiannya sudah mencapai 9.000 rupiah per liter. Sementara itu, premium sendiri masih dijual di harga 6.450 rupiah per liter.

Pengamat Energi Ceri, Yusri Usman, mengatakan memang posisi dilematis bagi Pertamina karena pada saat harga minyak mentah di atas 82 dollar AS per barel sudah tentu BUMN itu harus menombok perliter pertalite sekitar 2.500 hingga 3.000 rupiah per liter.

"Jika tidak dinaikkan, ada kelangkaan premium dan pertalite di sejumlah SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum). Sehingga sebaiknya harga pertalite dinaikkan dan tidak ada kelangkaan di SPBU itu akibatnya jauh lebih parah," pungkas Yusri.

Baca Juga: