Di sektor pangan, sama sekali tidak ada demokratisasi ekonomi karena fluktuasi harga pangan akibat ketergantungan terhadap tengkulak dan distributor pemodal besar.

JAKARTA - Pemerintah harus menuntaskan akar masalah kemiskinan di Indonesia. Sebab, kemiskinan di RI terjadi karena kue ekonomi hanya dinikmati segelintir orang.

Padahal, hal itu semestinya didistribusikan secara merata sehingga ketimpangan ekonomi tidak terlalu melebar. Ekonomi Pancasila itu harus benar-benar diterapkan.

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Mercu Buana, Yogyakarta, Awan Santosa, mengatakan kemiskinan di Indonesia erat kaitannya dengan ketimpangan ekonomi.

"Itu sebagai refleksi dari konsentrasi aset dan kekayaan pada segelintir elite yang didukung oligarki di berbagai sektor perekonomian nasional," tegasnya pada Koran Jakarta, Senin (3/10).

Dia melanjutkan terdapat situasi di mana nilai tambah ekonomi, baik dari produksi maupun distribusi lebih banyak dinikmati dan dikuasai oleh para pemodal besar tersebut. Di sisi lain, imbal hasil kecil didapat pelaku ekonomi rakyat yang pada akhirnya terjebak dalam kemiskinan struktural.

Awan mencontohkan, di sektor pangan, sama sekali tidak ada demokratisasi ekonomi. Fluktuasi harga pangan akibat ketergantungan terhadap tengkulak dan distributor pemodal besar.

Untuk itu, perlu demokratisasi pangan dalam aspek produksi dan tata niaga melalui penguatan peran ekonomi rakyat, seperti koperasi pangan multipihak yang melibatkan petani, pedagang, pengecer, konsumen, dan sebagainya.

"Selama ini kan demokratisasi sektor pangan itu gak ada, baru pada 2021 dibuat Peraturan Menteri Koperasi dan UKM tentang koperasi dengan model multipihak ini," ucapnya.

Komentar Awan ini untuk menanggapi posisi Indonesia yang masuk dalam 100 negara paling miskin di dunia. Hal ini diukur dari Gross National Income (GNI) atau pendapatan nasional bruto per kapita.

Mengutip World Population Review, Indonesia masuk dalam urutan ke-73 negara termiskin di dunia. Pendapatan nasional bruto RI tercatat 3.870 dollar AS per kapita pada 2020. Sementara itu, mengutip Gfmag.com, Indonesia menjadi negara paling miskin nomor 91 di dunia pada 2022.

Deputi III Kantor Staf Presiden RI (KSP), Panutan Sulendrakusuma, berusaha meluruskan pemahaman tentang kemiskinan ekstrem. Menurut dia, masih banyak pihak yang salah dalam memahami hal tersebut.

"Pemahaman tentang kemiskinan ekstrem ini harus diluruskan. Jadi, hitungannya berdasar paritas daya beli bukan mengalikannya dengan kurs dollar Amerika di pasar," kata Panutan.

Harga Riil

Ekonom Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan melihat angka kemiskinan bukan hanya sekadar membandingkan pendapatan per kapita saja. Ukuran pendapatan per kapita bisa saja menyesatkan. Oleh karena itu, juga perlu dilihat tingkat harga riil secara keseluruhan, yang tecermin dari nilai tukar riilnya.

"Artinya, jika ada suatu barang yang sama, secara riil harganya bisa berbeda. Sebagai contoh jika suatu negara pendapatan perkapitanya dua kali negara lain, tetapi nilai tukar riilnya tiga kalinya. Dapat disimpulkan kesejahteraan negara lain lebih besar," katanya.

Menurut Suhartoko, untuk melihat batas kemiskinan Bank Dunia mengukurnya dengan Purchasing Power Parity dalam dollar AS. Untuk Indonesia dalam penghitungan daya beli nilai tukarnya sekitar 4000 rupiah per dollar AS.

"Hal ini bisa terjadi karena harga barang barang di Indonesia relatif murah. Inilah yang menyebabkan pengurutan pendapatan per kapita untuk menilai kemiskinan menjadi menyesatkan," pungkasnya.

Baca Juga: