Pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, serta peningkatan pelayanan stunting menjadi bagian penting dalam upaya mengatasi kerawanan pangan.
JAKARTA - Pemerintah perlu mengatasi masalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Sebab, permasalahan ini erat kaitannya dengan pemicu kerawanan pangan serta penghambat upaya peningkatan pelayanan stunting.
Deputi bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional (Bapanas), Nyoto Suwignyo, menuturkan hasil analisis secara nasional menunjukkan risiko rawan pangan terbesar ada pada karakteristik kemiskinan, pendidikan rendah, dan tidak adanya paket pelayanan stunting.
"Hal ini juga menegaskan betapa pentingnya pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, serta peningkatan pelayanan stunting sebagai bagian dalam upaya mengatasi kerawanan pangan," jelasnya saat membacakan arahan Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, dalam rilis kajian Analisis Kerawanan Pangan, di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Kamis (3/10).
Hasil analisis ini, lanjutnya, diharapkan dapat menjadi rujukan program dan kegiatan intervensi pengendalian kerawanan pangan sehingga dapat tepat sasaran. Upaya itu ditujukan untuk mewujudkan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), antara lain SDGs-1 menghapus kemiskinan dan SDGs-2 mengakhiri kelaparan.
"Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan 17 target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), antara lain SDGs-1, menghapus kemiskinan dan SDGs-2, mengakhiri kelaparan," ujar Nyoto.
Berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) pada 2023, masih terdapat 68 kabupaten/kota rentan rawan pangan yang tersebar di wilayah Indonesia Timur, wilayah 3TP (Terdepan, Terluar, Tertinggal, dan Perbatasan) serta kepulauan. Angka ini turun dari 74 daerah rentan rawan pangan pada 2022.
Sementara itu, angka Prevalence of Undernourishment (PoU) yang menunjukkan persentase penduduk Indonesia yang mengalami kekurangan asupan gizi, sehingga tidak memiliki energi yang cukup untuk hidup sehat, aktif, dan produktif, juga turun menjadi 8,53 persen pada 2023 dari 10,21 persen pada 2022.
Agar kebijakan pengendalian kerawanan pangan terus berjalan tepat sasaran, diperlukan dukungan data spesifik kerawanan pangan berbasis pada karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan kewilayahan sampai dengan tingkat individu.
Deputi bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, berharap hasil analisis ini bisa menjadi masukan bagi kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah untuk bisa mengawal pencapaian target SDGs (tujuan pembangunan berkelanjutan) melalui dua indikator utama yakni Prevalence of Undernourishment (PoU) dan Food Insecurity Experience Scale (FIES).
Dengan demikian, ke depannya kebijakan yang dilakukan pemerintah melalui intervensi bantuan pangan dapat berjalan baik, tepat sasaran, dan bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara.
Butuh Komitmen
Dihubungi terpisah, Peneliti Lingkungan Hidup dari Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, menegaskan Indonesia beserta negara lain di dunia belum secara serius mengejar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau SDGs.
Dari data United Nations (UN) SDGs, hanya 48 persen target berada dalam jalurnya alias on the track. "Sisanya masih lemah, bahkan 15 persen justru regresif atau memburuk," ucap Hafidz.
Menurut Hafidz, dalam waktu enam tahun tersisa apabila tidak ada komitmen serius dari para pihak di tingkat global ataupun nasional, Indonesia akan mengalami kegagalan sebagaimana Millenium Development Goals (MDGs). Padahal, berbagai upaya serius sudah dilakukan untuk mengimplementasikan SDGs di tingkat pemerintah hingga level terbawah serta melibatkan bisnis.