Yang dibutuhkan adalah penciptaan lapangan kerja berkelanjutan untuk benar-benar mengatasi kemiskinan ekstrem.

JAKARTA - Pernyataan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, yang menyebutkan penurunan drastis angka kemiskinan ekstrem di Indonesia dari 4 persen menjadi 0,8 persen dalam satu dekade terakhir perlu dipertanyakan. Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, yang dihubungi Selasa (17/9), mempertanyakan kejelasan beberapa aspek dari klaim tersebut terutama metode perhitungan yang digunakan dalam menentukan angka penurunan kemiskinan ekstrem itu.

"Apakah perhitungan itu berdasarkan standar lama Bank Dunia atau sudah menggunakan standar baru?" tanya Aditya. Perubahan standar yang digunakan Bank Dunia dalam mendefinisikan kemiskinan ekstrem bisa sangat mempengaruhi angka yang ditunjukkan dalam laporan resmi. Selain parameter penentuan yang digunakan, dia juga mempertanyakan penyebab penurunan angka kemiskinan ekstrem itu, apa karena kebijakan permanen yang mendorong penciptaan lapangan kerja atau hanya hasil dari alokasi subsidi sementara.

"Bantuan subsidi jelas membantu masyarakat miskin, namun apakah itu solusi jangka panjang? Subsidi cenderung memberikan efek sementara, sedangkan yang dibutuhkan adalah penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan untuk benar-benar mengatasi kemiskinan ekstrem," jelas Aditya.

Ia mengingatkan bahwa penurunan angka kemiskinan yang disebabkan oleh bantuan sementara seperti subsidi sifatnya temporer, jika program tersebut dihentikan atau tidak didukung oleh kebijakan yang berkelanjutan, maka angka kemiskinan ekstrem akan meningkat lagi. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi apakah angka penurunan kemiskinan itu mencerminkan perubahan struktural yang lebih mendalam di ekonomi Indonesia, ataukah hanya hasil dari intervensi jangka pendek. "Kita harus melihat lebih jauh, apakah masyarakat yang sebelumnya berada di garis kemiskinan ekstrem kini memiliki akses ke pekerjaan yang stabil atau mereka masih bergantung pada bantuan pemerintah," tambahnya.

Meskipun klaim penurunan kemiskinan ekstrem itu menggembirakan, namun hal tersebut harus disertai dengan transparansi mengenai metode pengukuran dan kebijakan yang mendasarinya. "Apakah penurunan ini benar-benar hasil dari perubahan yang substansial atau hanya efek sementara dari bantuan subsidi? Itu yang harus kita gali lebih dalam," pungkas Aditya.

Pada kesempatan lain, peneliti ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengkritisir pernyataan Muhadjir karena penurunan itu benar-benar terjadi karena efek bantuan sosial (Bansos), yang kalau didalami tidak akan bersifat permanen. "Bansos hanya menaikkan sisi konsumsi rumah tangga miskin dan miskin ekstrem tanpa memberi dampak jangka menengah dan panjang," tegas Huda.

Dampak PHK

Dari angka orang miskin ekstrem mungkin berkurang, namun angka tersebut bisa meningkat di survei Agustus dan tahun depan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi belakangan ini. Huda pun menekankan bahwa tanpa didukung kebijakan jangka menengah dan panjang, kemiskinan ekstrem bakal kembali seperti sebelumnya karena efek bansos sudah berakhir. Sebab itu, dalam jangka panjang pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung penciptaan lapangan pekerjaan.

Selain itu, juga perlu menggencarkan pemberdayaan masyarakat miskin melalui berbagai program. Huda juga menyoroti perhitungan yang mengukur penurunan tingkat kemiskinan. Ada dua pendekatan dalam mengukur kemiskinan. Pemerintah sendiri masih menggunakan standar lama Bank Dunia yaitu, 1,9 dollar AS per kapita per hari, sedangkan Bank Dunia sudah menaikkan standar tersebut menjadi 2,15 dollar AS per kapita per hari.

"Jika dihitung berdasarkan standar lama mungkin benar turun, tetapi jika dihitung dengan parameter yang baru, kemiskinan ekstrem kita mungkin semakin meningkat," kata Huda. Menko PMK, Muhadjir Effendy, di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (17/9) mengatakan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia turun drastis dari empat persen menjadi 0,8 persen dalam satu dekade terakhir. "Kemiskinan ekstrem yang terakhir per tahun 2023 itu kan sudah turun. Sebelumnya empat persen, pada 10 tahun terakhir itu mengalami penurunan, yang terakhir 0,8 persen," Muhadjir. Untuk angka pasti dari penurunan kemiskinan ekstrem, jelas Menko, masih menunggu hasil survei lebih lanjut pada September 2024, yang berpotensi menunjukkan penurunan lebih lanjut.

Baca Juga: