» Ukuran kuantitatif tidak dapat digunakan sebagai patokan satu-satunya menyatakan RI benar-benar terbebas dari kemiskinan ekstrem.

» Data kemiskinan antara yang diungkapkan dan kenyataan, sebenarnya sangat berbeda jauh.

JAKARTA - Pemerintah diminta membuat perencanaan yang matang terlebih dahulu sebelum menetapkan target-target ambisius seperti pengentasan angka kemiskinan pada 2024 mendatang. Perencanaan itu harus diawali dengan pengkinian data yang lebih valid dan akurat sehingga sasaran yang hendak dituju benar-benar tepat.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, mengatakan ukuran kuantitatif yang digunakan untuk mengukur jumlah orang miskin bisa berbeda-beda pada setiap negara.

Meskipun standar kemiskinan ditetapkan oleh lembaga-lembaga internasional, namun itu pun bisa berbeda-beda parameternya, bergantung lembaga internasional mana yang mau dipakai. Untuk saat ini, memang yang banyak digunakan negara-negara di dunia adalah ukuran World Bank atau Bank Dunia dengan pendapatan per kapita 2,15 dollar AS per hari atau kalau dengan kurs saat ini sekiar 34.500 rupiah per orang per hari.

"Menurut saya, ukuran kuantitatif tidak dapat digunakan sebagai patokan satu-satunya untuk menyatakan bahwa Indonesia benar-benar terbebas dari kemiskinan ekstrem," kata Eugenia.

Meskipun di atas kertas, data menunjukkan Indonesia angka kemiskinannya misalnya sudah 0 persen pada 2024, belum tentu kenyataannya seperti itu. Pasti masih saja ada orang Indonesia yang miskin, sehingga tidak dapat memperoleh pendapatan di atas 2,15 dollar AS per hari.

"Pemerintah bisa mengeklaim kita telah terbebas dari kemiskinan ekstrem, tetapi klaim tersebut harus benar-benar mendekati kondisi yang sebenarnya. Hal itu karena masalah data antara yang diungkapkan dan kenyataan sebenarnya sangat berbeda jauh," katanya.

Dari Yogyakarta, Peneliti Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada, Hempri Suyatna, mengatakan meskipun pemerintah telah menetapkan target yang sangat ambisius, kenyataannya agar kebijakan tersebut berhasil sangat bergantung pada kualitas dan keakuratan data yang digunakan untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi program-program tersebut.

"Ini tidak mudah, data kan pusatnya di dusun, desa, kelurahan. Kualitas dari setiap perangkat di semua daerah itu kan beda-beda. Padahal kemiskinan ektrem ataupun kemiskinan itu datanya dinamis, naik-turun setiap periode yang pendek. Karena begitulah orang miskin ektrem bisa naik karena dapat pekerjaan bangun jalan kampung padat karya," papar Hempri.

Permasalahan data yang akurat dan mutakhir juga berkaitan erat dengan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan. Di tahun politik, sering kali data menjadi komoditas politik sehingga data kemiskinan tidak mencerminkan yang sesungguhnya, namun menjadi politisasi bansos.

"Jadi, di tahun politik, kemiskinan bisa naik tinggi karena data kemiskinan jadi politik, bukan soal kultur dan struktur, tapi dibawa ke politisi kemiskinan. Kan sering dari tahun ke tahun kita mendapati isu tersebut," kata Hempri.

Lebih Dinamis

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ahmad Maruf, mengatakan pengkinian data di DIY khususnya di tingkat dusun relatif lebih baik, bahkan sampai ke kabupaten. Justru yang dipertanyakan adalah bagaimana pusat meng-update data dari bawah, karena sering kali ditemukan kasus data dari bawah sudah benar, namun penyaluran Progran Keluarga Harapan (PKH) masih keliru.

Hal yang tak kalah penting adalah memastikan layanan-layanan dasar, seperti BPJS kesehatan, kualitas sekolah hingga perdesaan, infrastuktur perdesaan, dan perlindungan hak-hak dasar warga negara lainnya dipastikan berjalan dengan baik. "Tapi memastikan orang miskin bisa akses BPJS itu lebih mudah. Sekolah juga begitu. Karena miskin ekstrem itu dinamis sekali datanya," kata Maruf.

Secara terpisah, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan pengkinian data harus dilakukan dengan cara yang ekstrem pula, bukan mainstream. "Kemiskinan ekstrem harus diatasi dari akar masalahnya, kalau terkait sistem/ struktur ekonomi maka perlu ada upaya transformasi melalu regulasi, intervensi terarah dan terukur, serta berbagai skema pemberdayaan sosial-ekonomi," tutup Awan.

Baca Juga: