JAKARTA - Indonesia terus memperjuangkan agenda reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya terhadap Dewan Keamanan (DK) PBB. Reformasi pada DK PBB pun semakin penting mengingat hanya badan itulah yang dapat "memaksakan" resolusinya dijalankan oleh negara anggota PBB.

"Sampai saat ini, Indonesia tidak pernah berhenti memperjuangkan reformasi PBB, terutama Dewan Keamanan PBB, yang sudah diperjuangkan sejak dulu," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhamad, dalam taklimat media, di Jakarta, Rabu (29/5).

Dikutip dari Antara, Iqbal mengakui tantangan agenda reformasi PBB saat ini berpangkal dari belum tercapainya kesepakatan terhadap perubahan sistem yang diterima oleh semua negara anggota PBB.

"Ada yang mengusulkan (perubahan) hak veto, ada yang mengusulkan status negara tetap atau negara semi-permanen, dan sebagainya," ucap Iqbal.

Dia menyebut Indonesia menjadi salah satu negara yang paling pertama menyerukan reformasi PBB, seperti yang disampaikan Presiden Soekarno dalam pidatonya, "To Build the World Anew", di hadapan Majelis Umum PBB pada 30 September 1960.

Soekarno dalam pidatonya tersebut menegaskan pentingnya PBB berkembang sesuai dengan realitas zaman, dan salah satu hal yang didorongnya adalah peninjauan kembali fungsi Dewan Keamanan PBB.

Ingatan Kolektif

Arsip pidato tersebut pun telah diakui sebagai Ingatan Kolektif Dunia (Memory of the World) oleh UNESCO pada 2023.

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, sebelumnya mengakui muncul desakan dari negara-negara anggota PBB untuk mereformasi organisasi internasional itu selama Sidang ke-78 Majelis Umum PBB pada Oktober 2023.

Ia mengatakan sejumlah pemimpin dunia mengkritik kondisi lembaga-lembaga multilateral yang ada. Para pemimpin juga menyoroti adanya ketidaksesuaian antara institusi pemerintahan global dan realitas ekonomi serta politik dunia.

"Satu per satu pemimpin mengatakan kepada saya bahwa lembaga multilateral kita saat ini tidak membuahkan hasil, dan menyerukan reformasi," kata Guterres dalam pertemuan Agenda Bersama (Common Agenda) di Markas PBB.

Sebelumnya, Guterres mengatakan ada kebutuhan untuk memasukkan partisipasi dan kepemimpinan Afrika dalam arsitektur perdamaian dan keamanan global.

Setelah Perang Dunia II, tambah Guterres, mekanisme tata kelola global, termasuk Dewan Keamanan PBB, dirancang oleh negara-negara terkuat ketika banyak negara Afrika masih dalam proses melepaskan diri dari belenggu kolonialisme. Sejak saat itu, dunia telah berubah. Namun, lembaga-lembaga global belum melakukan perubahan.

"Saat ini, negara-negara Afrika terus ditolak untuk mendapatkan kursi di meja perundingan, termasuk di dewan ini. Dampak dari kesenjangan struktural ini terlihat dengan jelas," ujar Guterres dalam debat terbuka Dewan Keamanan mengenai penguatan peran Afrika guna mengatasi tantangan keamanan dan pembangunan global.

Afrika, tambah dia, berhak untuk bersuara dalam arsitektur perdamaian dan keamanan global. Namun, memperkuat suara Afrika hanya dapat dilakukan apabila negara-negara Afrika dapat berpartisipasi dalam struktur tata kelola global dengan kedudukan setara.

"Ini harus mencakup upaya untuk mengatasi kurangnya perwakilan tetap Afrika di Dewan Keamanan. Dan ini harus mencakup reformasi arsitektur keuangan global, khususnya penanganan utang, sehingga negara-negara Afrika memiliki dukungan yang mereka perlukan untuk bergerak naik dalam hal pembangunan," katanya.

Baca Juga: