JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dinilai kurang memiliki sensitivitas pada kondisi keuangan negara. Hal itu terlihat pada penarikan utang yang "jorjoran" atau lebih besar dari kebutuhan membiayai defisit.

Hal itu terlihat pada penarikan pinjaman pada tahun lalu yang mencapai 1.006,4 triliun rupiah, namun terpakai 868,6 triliun rupiah atau 86,3 persen. Dengan demikian, ada utang yang ditarik, namun tidak dibelanjakan sebesar 137,8 triliun rupiah atau 13,7 persen.

Pengamat Ekonomi dari Narasi Institut, Achmad Nur Hidayat, mengatakan sisa penarikan utang yang tidak dimanfaatkan sebesar 137,8 triliun rupiah adalah sebuah kelalaian sebab kurang tepat dalam perencanaan sehingga sangat pantas dipenalti karena menimbulkan beban bunga minimal enam triliun rupiah yang harus dibayar dari pajak rakyat.

"Utang itu sendiri beban, apalagi gagal digunakan, bebannya jadi dobel. Ini harus dihukum karena ada lost opportunity. Kalau orang menimbulkan beban negara ada unsur kelalaian, korupsi kan membebani beban negara dan ada kelalaian. Ada mantan menteri dihukum meski tidak menggunakan hasil korupsinya, tapi karena lalai. Ini negara rugi enam triliun rupiah malah dianggap prestasi kan aneh," kata Achmad.

Hal lain yang perlu dibenarkan, kata Achmad Nur, yaitu kegagalan menggunakan utang oleh Menteri Keuangan selalu dianggap sebagai prestasi bahwa tahun ini utang akan lebih sedikit.

"Ini logika keliru karena yang terjadi bukan efisiensi, tapi kegagalan perencanaan.

"Penerbitan utang ternyata nggak ada gunanya. Malah harus bayar bunga kok sebuah prestasi? Ini jelas kelalaian, salah rencana. Efisiensi itu kalau sumber dananya dari penerimaan, ini dari utang yang ada beban bunganya," tandas Achmad.

Lebih Rendah

Menteri Keuangan, Sri Mulyanu, dalam rapat kerja (raker) dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Jakarta, Senin (24/1), menyatakan lebih rendahnya pembiayaan karena defisit anggaran pada tahun lalu hanya sebesar 4,65 persen dari batas yang ditetapkan 5,7 persen dari PDB.

"Pembiayaan anggaran kita tahun 2021 itu jauh lebih rendah dari UU APBN," katanya.

Menurut Menkeu, fokus dalam menutup defisit yang utama adalah untuk penanganan pandemi Covid-19, mendorong pemulihan ekonomi nasional dan mendukung penguatan reformasi.

Ia menegaskan pembiayaan anggaran tetap dilakukan secara prudent, terukur dan didukung oleh sinergi antara pemerintah dan Bank Indonesia yang sangat baik.

Sementara itu, untuk pembiayaan utang tahun sebelumnya adalah 867,4 triliun rupiah atau 73,7 persen dari APBN yakni berkurang hingga 310 triliun rupiah dari target seiring menurunnya defisit karena beberapa faktor.

Defisit menurun karena membaiknya penerimaan negara, optimalisasi penggunaan Sisa Anggaran Lebih (SAL), pemanfaatan fleksibilitas pinjaman program serta dukungan koordinasi berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) III dengan Bank Indonesia (BI).

Pembiayaan utang tersebut selain untuk menutup defisit juga digunakan untuk pembiayaan investasi bagi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Layanan UMUM (BLU) terutama dalam rangka mempercepat pembangunan infrastruktur dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).

"Kalau kita harus memilih menyelamatkan ekonomi, masyarakat atau APBN? Maka APBN nomor tiga. APBN akan pulih kalau masyarakat dan ekonomi pulih," kata Menkeu.

Baca Juga: