» DJKN perlu bekerja sama dengan aparat agar penegakan hukum bisa konsisten.

» MRNIA menyebut pokok utang yang tidak dibayar obligor dikenakan bunga 2 persen per bulan dan bunga majemuk.

JAKARTA - Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, yang meminta Direktur Jenderal Kekayaan Negara yang baru dilantik, Rionald Silaban, untuk bekerja keras menagih piutang negara mendapat dukungan dari beberapa pihak. Sebab, upaya menagih piutang di tengah turunnya penerimaan pajak merupakan langkah tepat ketimbang terus menumpuk utang baru.

Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untukTransparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, di Jakarta, Minggu (14/3), mengatakan saat ini merupakan momen yang tepat bagi pemerintah untuk menagih piutang negara. Apalagi, penerimaan negara dari perpajakan turun tajam, sehingga pemerintah perlu agresif mengupayakan sumber penerimaan lain khususnya piutang.

"Saya sepakat dengan permintaan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kepada jajarannya untuk menagih piutang negara. Kebijakan ini harus dilakukan meskipun agak lamban," kata Badiul.

Meskipun terlambat, namun langka tersebut harus didukung. Tinggal pemerintah menunjukkan komitmen mereka untuk betul-betul menagih piutang, terutama yang nilainya ratusan triliun rupiah seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"BLBI ini piutang lama yang sudah bunga berbunga, tetapi seolah tidak tersentuh. Para obligor yang sudah menikmati dana dari negara itu seolah-olah tidak punya beban mengembalikan ke negara karena mereka tidak ditagih," kata Badiul.

Kalau piutang BLBI ini diprioritaskan penagihannya, maka pernyataan Menkeu tersebut tidak sekadar slogan, tapi benar-benar dieksekusi. Dia optimistis dengan pergantian pejabat eselon I, maka akan memberi harapan untuk mengoptimalkan sumber penarikan sumber keuangan negara yang selama ini terabaikan.

Pekan lalu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati meminta Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Rionald Silaban, untuk bekerja keras dalam menyelesaikan piutang negara dan mengelola kekayaan negara secara optimal. "Saya minta kepada Pak Rionald untuk terus meningkatkan kemampuan kita di dalam menyelesaikan dan mengelola piutang negara dan kekayaan negara lainnya seperti tugas untuk penagihan untuk beberapa outstanding issue," kata Menkeu.

Dalam melaksanakan tugas penagihan, Menkeu mengatakan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) perlu bekerja sama dengan aparat agar dapat melakukan penegakan hukum secara konsisten dengan kompetensi dan integritas yang tinggi. "Tugas DJKN merupakan salah satu motor reformasi dalam mengelola kekayaan negara. Tidak hanya sekadar sebagai administrator, namun juga sebagai aset manajer," katanya.

Selain melakukan penagihan utang, Rionald harus mampu meningkatkan pengelolaan aset negara, baik dari perpajakan maupun penerimaan negara di luar pemanfaatan aset.

Belum Dihapus

Penagihan piutang negara sebenarnya sudah diatur dalam UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Bab V Pasal 37 Ayat 2 poin C menyebutkan penghapusan piutang negara ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR untuk jumlah lebih dari 100 miliar rupiah.

Dana BLBI yang diterima para obligor nilainya triliunan rupiah dan tidak pernah ada pembahasan soal ini antara Presiden dan DPR apalagi secara tertulis.

Guru Besar Ilmu Hukum Perdata Universitas Airlangga Surabaya, Lucianus Budi Kagramanto, beberapa waktu lalu, mengatakan dalam kondisi resesi ekonomi, pemerintah layak mencari pemasukan untuk menutupi kekurangan anggaran, terutama sumber pemasukan potensial seperti piutang BLBI yang telah lama terabaikan.

"BLBI dan piutang lainnya sangat layak ditagih dalam kondisi seperti sekarang ini. Meskipun sudah lama sekali, utang-utang ini perlu dikejar pokok dan bunganya sesuai kesepakatan yang mereka tanda tangani dalam Master of settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA)," kata Lucianus.

Dalam klausul MRNIA disebutkan pokok utang yang tidak dibayar obligor dikenakan bunga 2 persen per bulan dengan bunga majemuk. Tanpa berbunga majemuk, selama 22 tahun sudah mencapai 258 persen. n ers/SB/E-9

Baca Juga: