JAKARTA - Penundaan pemberlakukan pajak karbon dari awal April lalu ke awal Juli semula ditanggapi positif para pemerhati lingkungan. Mereka mengira alasan penundaan karena tarif yang akan dikenakan pemerintah semula sebesar 30 rupiah per kilogram (kg) CO2 atau setara dengan 2,1 dollar AS per ton CO2 akan direvisi mendekati tarif di negara-negara lain.

Nyatanya saat diberlakukan pada 1 Juli mendatang, besaran tarif tersebut tidak berubah sama sekali.

Hal itu ditegaskan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, yang menyatakan bahwa penyusunan peta jalan (road map) pajak karbon telah selesai disusun dan akan dikonsultasikan bersama Komisi XI DPR.

Kebijakan pajak karbon, katanya, tidak terlepas dari kesepakatan antara pemerintah dan DPR dan kebijakan itu juga mendorong pasar karbon yang sedang berjalan di PLTU.

"Pajak karbonnya ada yang langsung berlaku di PLTU batu bara. Itu pun sangat minimal. Jadi nggak terlalu mendisrupsi, bahkan kita sedang mendorong pasar karbon yang sedang berjalan di PLTU," paparnya.

Pengenaan tarif pajak karbon juga tidak berbeda dengan yang sedang berjalan di pasar karbon, sehingga tidak akan berdampak terhadap kondisi keuangan mereka. Hal ini mengingat pajak karbon dibuat dalam rangka untuk membuat pasar karbonnya semakin efektif. "Makanya, ketika kita buat tarif pajak karbon untuk pajak karbon di PLTU, ya dua dollar AS saja dulu," katanya.

Terlampau Rendah

Pengamat Energi, Tiza Mafira, yang diminta pendapatnya mengatakan langkah Kemenkeu itu tidak sesuai harapan karena tarifnya yang tetap rendah, padahal penerapannya sudah ditunda. "Pajak karbon ini kan langkah yang baik sebenarnya, karena mendorong percepatan transisi energi, tetapi dari angkanya saya lihat terlampau rendah," kata Tiza.

Ia menjelaskan pajak karbon ini misi utamanya adalah mendorong pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) beralih ke energi terbarukan, tidak dilihat sebagai sumber pemasukan negara.

Tarif pajak yang hanya dua dollar AS per ton itu sangat rendah. Kalau dibandingkan dengan Singapura sebesar 3,7 dollar AS, maka sangat jauh. Jika diperdagangkan misalnya untuk produk ekspor, produk Indonesia yang diekspor ke Singapura minus, karena di sana dikenakan pajak lebih tinggi, sementara barang mereka di Indonesia dikenakan tarif lebih murah.

"Saya khawatir penerapan pajak karbon tidak akan memberikan efek jera," tegasnya.

Hal yang perlu dipikirkan pemerintah selanjutnya ialah bagaimana menarikan tarif karbon ini ke depan agar segera mengikuti tren global. "Harus ada mekanisme untuk menaikkan tarif apabila sudah berjalan dan ternyata tidak ada shifting signifikan dari PLTU batu bara ke energi baru terbarukan (EBT)," ungkapnya.

Baca Juga: