JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diharapkan melanjutkan tren pengelolaan fiskal yang sehat sepanjang tahun, terutama menjaga surplus APBN. Hal itu penting untuk memberi sinyal pada dunia internasional kalau pengelolaan keuangan negara RI tetap managable di bawah Menkeu Sri Mulyani Indrawati.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini menyampaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada semester I-2022 surplus sebesar 73,6 triliun rupiah atau setara dengan 0,39 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

"APBN semester I masih tercatat surplus 73,6 trilun rupiah, jadi ini enam bulan berturut-turut APBN mengalami surplus," kata Menkeu.

Surplus APBN hingga akhir Juni 2022 terbilang sangat baik jika dibandingkan akhir Juni 2021 yang tercatat defisit 283,1 triliun rupiah. Surplus tersebut karena pendapatan negara yang tumbuh signfikan dibandingkan belanja negara. Pendapatan negara tercatat sebesar 1.317,2 triliun rupiah atau tumbuh 48,5 persen secara tahunan (yoy).

Realisasi itu setara 58,1 persen dari target yang sebesar 2.266,2 triliun rupiah. Sementara belanja negara tercatat mencapai 1.243,6 triliun rupiah atau tumbuh 6,3 persen (yoy). Realisasi tersebut setara 40 persen dari pagu anggaran belanja negara yang sebesar 2.714, 2 triliun rupiah.

Dengan surplus anggaran maka pembiayaan utang mengalami penurunan. Hingga akhir Juni 2022, pembiayaan utang baru sebesar 153,5 triliun rupiah atau turun 63,5 persen (yoy) dibandingkan periode sama di 2021 yang mencapai 421,1 triliun rupiah.

"Kondisi APBN semester I luar biasa positif dengan SILPA mencapai 227,1 triliun rupiah. Bahkan, pembiayaan anggaran melalui penerbitan surat utang menurut Perpres seharusnya 840,2 triliun rupiah, tapi kita hanya merealisasikan 153,5 triliun rupiah. Ini menurun drastis dibandingkan tahun lalu," kata Menkeu belum lama ini.

Indikator positif APBN disepanjang semester I-2022 akan menjadi hal yang baik bagi pemerintah untuk menghadapi semester II-2022, disebabkan lingkungan global yang masih bergejolak dan berpotensi mempengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri.

Momentum Bagus

Rektor Universitas Indonesia (UI), Ari Kuncoro, di hadapan Presiden, pekan lalu, memaparkan kalau di tengah situasi dunia yang mengalami deglobalisasi, beberapa indikator ekonomi di Tanah Air justru mengalami kenaikan.

"Ternyata situasinya itu baik ya, itu kelihatan dari penerimaan pajak yang naik, kemudian ekspor juga naik, dan ada beberapa indikator lain yang naik. Kesimpulannya adalah tidak semuanya situasi dunia yang sedang kompleks ini punya akibat yang negatif, sekarang tinggal Indonesia bagaimana memanfaatkannya," kata Ari.

Dia mengapresiasi pencapaian sejumlah indikator itu sebagai buah dari kerja-kerja yang dilakukan pemerintah sebelum merebaknya pandemi Covid-19 maupun agresi militer Russia ke Ukraina. "Salah satu yang ditonjolkan itu adalah infrastruktur, transformasi ekonomi, perlindungan sosial, dan juga hilirisasi (industri)," kata Ari.

Deglobalisasi, jelasnya, membuat Eropa tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan minyak dan gas dari Russia. Begitu pula hambatan perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika Serikat menggunakan cip buatan Tiongkok.

"Jadi, ini sebenarnya merupakan kesempatan Indonesia yang punya nikel, bauksit, dan tembaga. Itu semuanya adalah untuk komponen mobil listrik. Apalagi sekarang ada transisi energi dunia, sehingga momen yang bagus ketika rantai pasokan dunia sedang berhibernasi. Itulah sebabnya, kita lihat tadi ada beberapa indikator bagus," pungkas Ari.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan Menkeu Sri Mulyani harus mempertahankan pencapaian surplus fiskal karena otomatis akan mengurangi penarikan utang baru.

Baca Juga: