Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Sri Suning Kusumawardani, menegaskan joki skripsi bertentangan dengan asas pendidikan tinggi sebagaimana diatur dqlam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pernyataan tersebut merespons adanya perdebatan normalisasi joki skripsi di media sosial.
JAKARTA - Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Sri Suning Kusumawardani, menegaskan joki skripsi bertentangan dengan asas pendidikan tinggi sebagaimana diatur dqlam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pernyataan tersebut merespons adanya perdebatan normalisasi joki skripsi di media sosial.
"Tentu fenomena perjokian sangat bertentangan dengan asas pendidikan tinggi," ujar Sri, kepada Koran Jakarta, Jumat (26/7).
Dia menyebut setidaknya praktik joki skripsi bertentangan dengan Pasal 3 dan 5 UU 12/2022. Dengan demikian, praktik joki tidak bisa dinormalisasikan baik untuk skripsi maupun dalam tugas perkuliahan.
Sri menambahkan, untuk mencegah terjadinya praktik menyimpang dalam skripsi pihaknya menggunakan intervensi teknologi. Salah satunya penggunaan Artificial Inteligent (AI) yang telah disertai Panduan Penggunaan Generative AI (GenAI) yang memuat etika di dalamnya.
"Dalam panduan tersebut juga diberi inspirasi potensi metode asesmen yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi AI saat ini," jelasnya.
Di mengungkapkan, saat ini sudah ada Permendikbudristek nomor 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Didalamnya mengatur bahwa Skripsi bukan satu-satunya jenis tugas akhir mahasiswa. "Sehingga diharapkan program studi mencari bentuk tugas akhir yang sesuai dengan bidang ilmu dan berinovasi untuk terhindar adanya perjokian tersebut," katanya.
Regulasi Skripsi
Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Edy Suandi Hamid, menyebut kampus perlu memiliki regulasi baku terkait skripsi. Hal tersebut untuk mencegah mahasiswa menggunakan joki saat menulis skripsi.
"Perguruan tingginya perlu memiliki regulasi tentang syarat minimal tatap muka atau bimbingan, agar bimbingan riil terjadi, bukan asal mengesahkan saja," terangnya.
Dia menyebut, kampus juga perlu membatasi jumlah mahasiswa bimbingan terhadap satu dosen. Dengan demikian, kualitas bimbingan akan terjaga. "Jadi harus dibatasi jumlah bimbingan per mahasiswa di setiap dosen. Agar dosen betul-betul punya waktu melakukan bimbingan," ucapnya.
Edy menekankan, kampus juga mesti memberikan sanksi tegas. Tidak hanya kepada mahasiswa yang melanggar, tapi juga dosen yang tak menjalankan SOP. "Memberikan sanksi tegas sampai dikeluarkan atau teguran lain buat mahasiswa yang melanggar, juga dosen yang tidak melalukan proses pembimbingan dengan benar," sebutnya.