Untuk meningkatkan sinergitas dengan berbagai pihak, Kemendikbud perlu memperbaiki pola komunikasinya ke masyarakat.

JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) diminta memperbaiki pola komunikasi. Hal itu diperlukan karena komunikasi menjadi salah satu hal yang perlu dievaluasi atas banyaknya kritikan masyarakat terkait Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud.

"Melihat perkembangan POP sejauh ini, evaluasinya untuk Kemendikbud barangkali komunikasi yang lebih transparan terhadap masyarakat," kata pengamat pendidikan sekaligus Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, Itje Chodidjah kepada Koran Jakarta, Minggu (2/8).

Itje menilai perbaikan pola komunikasi di Kemendikbud sangat penting mengingat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim sebagai anak muda yang tidak berasal dari kluster politik manapun. Gaya komunikasi yang harus dikedepankan adalah berorientasi pada kerja serta mampu menampung semua aspirasi dari pemangku kepentingan terkait pendidikan.

"Selama ini barangkali ada salah paham dan jarak dari cara berkomunikasi di Kemendikbud yang dipimpin anak muda. Mungkin arahnya yang penting kerja, sedangkan yang lain belum diajak komunikasi," jelasnya.

Masih Relevan

Lebih jauh Itje menilai POP masih relevan jika dilihat dari tujuan pelaksanaan programnya. Pasalnya, pemerintah memerlukan bantuan dari organisasi masyarakat (Ormas) di bidang pendidikan untuk memeratakan kualitas guru di Indonesia yang jumlahnya sekitar 3 juta guru.

Dia menambahkan pelibatan Ormas yang sudah terjun dalam dunia pendidikan dapat membuat program pelatihan guru lebih sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman. Menurutnya, dibanding membiarkan Ormas tersebut bergerak sendiri-sendiri, pemerintah mesti hadir agar orientasi pelatihannya sama.

"Jadi pemerintah menggandeng supaya nantinya organisasi-organisasi ini menuju titik yang sama dengan pemerintah," ucapnya.

Perlu diketahui, POP merupakan upaya peningkatan kualitas guru agar meningkatkan kualitas literasi, numerasi, dan karakter siswa. Pada pelaksanaannya, program dengan anggaran 595 miliar rupiah ini bekerja sama dengan sejumlah Ormas terpilih. Meski begitu, program tersebut dinilai tidak transparan, terutama dalam pemilihan organisasi-organisasi yang terlibat.

Terkait terpilihnya Tanoto Foundation dan Putera Sampoerna Foundation yang memicu masalah terkait POP, Itje menilai hal tersebut hanya kesalahan komunikasi saja. Banyak yayasan perusahaan yang sudah mampu menangani pelatihan guru dengan jumlah besar disertai dengan infrastruktur, sistem keuangan, dan sistem monitoring evaluasi yang mapan sehingga pantas terlibat dalam POP.

Meski begitu Itje meminta Kemendikbud untuk lebih tegas dan cepat dalam monitoring dan inspeksi dalam pelaksanaan POP. Adanya keterlibatan lembaga akuntan eksternal dalam pelaksanaan juga membuat POP lebih terjamin menjaga keuangan negara untuk program tersebut.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mencatat proses verifikasi terhadap organisasi penerima bantuan POP kurang memadai. Dia mencontohkan terdapat satu organisasi yang juga mempunyai yayasan mengajukan proposal untuk yayasannya mengikuti POP. ruf/N-3

Baca Juga: