JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. Penandatanganan dilakukan di kantor Kemendagri Jakarta disaksikan Plt Sekretaris Jenderal Kemendagri, Muhammad Hudori.

Hudori berharap kerja sama dengan Kemitraan akan memberikan arah pelaksanaankerja sama, terutama dalam hal penguatan tata kelola pemerintahan nasional dan daerah. Sebab, Kemendagri salah satu tugas utamanya adalah fungsi pembinaan dan pengawasan pemerintah daerah.

"Tadi sudah disampaikan ruang lingkup nota kesepahaman ini ada empat. Pertama, menyangkut bidang Otda. Saya kira kalau bicara Otda ini pasti cakupannya sangat luas. Nanti bisa dicari kira-kira yang mana yang pas dan relevan tentu saja dengan kemampuan dan kapabilitas yang ada di Kemitraan tentu saja dengan di Otda (Ditjen Otda)," kata Hudori, di Jakarta, Senin (13/7)

Kedua, lanjut Hudori, bidang administrasi kewilayahan (Adwil). Di bidang Adwil, ada dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Di bidang Adwil cakupannya sangat luas, terutama menyangkut soal bidang administrasi kewilayahan. Ketiga, bidang penerapan SPM dan SDGs atau tujuan pembangunan berkelanjutan di daerah. Kemudian sinkronisasi penyelengaraan pemerintahan daerah dan sinergitas antara pusat dan daerah.

"Jadi ini kebetulan ada di Bangda (Ditjen Pembangunan Daerah). Di Bangda ini saya yang bawahi. SPM ini ada sebetulnya ada regulasinya yaitu UU Nomor 23 Tahun 2014, kemudian regulasi UUA Nomor 23 Tahun 2014 itu diamanatkan disitu ada Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018. Saya kira PP ini merupakan amanat dari UU Nomor 23 Tahun 2014 yaitu tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)," ujarnya.

Kalau bicara SPM, kaya Hudori, pasti tidak bisa lepas dari bicara soal ketentuan jenis dan mutu penerima. Kata kuncinya ada tiga yang harus dilakukan. Satu yang menyangkut soal penerima. Kedua, mutu. Ketiga, kualitas.

"Di samping PP Nomor 2 Tahun 2018 tentang SPM ini menyangkutkan urusan pemerintahan konkuren tapi yang wajib. Yang wajib itu ada enam, mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial, trantibum linmas ini ada di Adwil. Kemudian ada perumahan dan pekerjaan umum dan penataan ruang, yang terakhir sosial, dan dari enam itu saya perlu sampaikan kalau yang lain itu kan kementerian dan lembaga. Kalau bicara sosial itu ada di kementerian lembaga, kementerian sosial. Tapi yang menyangkut trantibum linmas ini kebetulan ada di Kepmendagri tepatnya di Ditjen Adwil," urainya.

Hudori mengungkapkan target SPM sekarang ini berbeda dengan dulu. SPM ini ketentuan jenis dan mutu. SPM ini wajib diperoleh oleh stiap warga secara mninimal. Makanya dalam prinsip SPM itu harus sama perlakuannya. Tidak mengenal ruang fiskal itu rendah atau tinggi. Itu prinsipnya.

"Kalau tidak salah ada enam prinsip kewenangan dalam SPM itu. Prinsip enam itu disebutkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, makanya khusus untuk SPM ini saya kira dalam Pasal 18 ini disebutkan penyelenggara pemerintahan. Kalau disebut penyelenggara pemerintahaan berarti yang punya kewajiban terhadap SPM ini tidak hanya kepala daerah tetapi juga DPRD. Saya kira ada beberapa persoalan yang mudah-mudahan nanti ditemui teman-teman Kemitraan bahwa dalam penerapan SPM itu kan ada empat yang harus dilakukan. Satu yang dikenal dengan pendataan. Pendataan ini saya kira masih proses dan yang bervariasi di tingkat daerah, bagaimana cara mendata itu misalnya siapa penerima, sarana prasarananya," kata Hudori.

Kedua, kata dia, dikenal dengan integrasi. Ini terkait dengan hitung menghitung. Ada data baik itu jumlah dan jenis yang dihitung. Setelah dihitung kmudian baru diintegrasikan. Diintegrasikandasar hukumnya ada dalam Permendagri Nomor 100. Di satu sisi harus masuk di integrasi RPJMD yang 5 tahunan itu. Kemudian di sisi lain,yang tahunan. Lalu penganggaran. ags/N-3

Baca Juga: