JAKARTA - Kementerian Perdagangan dinilai kesulitan membuat formula aturan yang tepat tentang perdagangan internasional khususnya impor. Dari berbagai aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) semuanya hampir membawa dampak bagi perekonomian dalam negeri.

Hal itu diakui Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan, di Bandung, dalam keterangannya mengenai rencana untuk mengenakan bea masuk hingga 200 persen barang-barang impor asal Tiongkok yang bisa mengganggu produksi dalam negeri seperti tekstil dan produk-produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Menurut Zulkifli, banjirnya barang asal Tiongkok ke pasar Asia termasuk Indonesia sebagai akibat perang dagang dengan Amerika Serikat (AS), sehingga produksi Tiongkok over capacity dan over supply yang membanjiri Indonesia mulai dari pakaian, baja, tekstil, dan lain sebagainya.

Sebagai respons, maka lahirlah Permendag Nomor 37 Tahun 2023 yang betul-betul mengunci arus barang masuk dari luar negeri dibanding sebelumnya yang bisa langsung masuk ke toko atau konsumen tanpa sekat.

"Dengan Permendag 37 itu betul-betul bisa mengunci bisa mengendalikan impor," katanya.

Namun, ketika diberlakukan, kata Zulkifli, pemerintah kedodoran, di mana barang-barang Pekerja Migran Indonesia (PMI) ketika sampai Indonesia tidak bisa dibawa dari bandara usai pemeriksaan bea cukai.

"Barang tidak bisa jalan ratusan sampai ribuan kontainer. Ngamuk PMI, bea cukai tidak siap mendetailkan produk yang segitu banyak. Akhirnya diubah menjadi Permendag Nomor 7, dengan PMI dikembalikan lagi 500 dollar terserah nanti kayak apa barangnya," kata Zulkifli.

Namun, Permendag Nomor 7 itu dalam praktiknya tidak mudah, karena akhirnya 20.000 kontainer barang-barang di berbagai pelabuhan menumpuk, hingga akhirnya permendag itu harus diubah lagi.

"Akhirnya kita ubah Permendag Nomor 7 jadi Permendag Nomor 8, dan barang 20.000 kontainer, dalam satu bulan habis. Namun, industri tekstil dan lain sebagainya komplain luar biasa ramai lagi minta dikembalikan Permendag 37. Dari situ dibutuhkan aturan baru untuk melindungi barang-barang yang deras masuk ke sini," ungkap Mendag seperti dikutip dari Antara.

Langkah Antisipasi

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Brawijaya (UB), Malang, Adhi Cahya Fahadayna, mengatakan pemerintah perlu melakukan berbagai upaya ekonomi dalam mengantisiapasi potensi dominasi Tiongkok.

"Sebetulnya yang perlu diwaspadai negara-negara di Asia adalah pertarungan sesungguhnya antara AS dan Tiongkok, bukan ekonomi AS menginvasi ekonomi Tiongkok atau sebaliknya, tetapi medan pertarungannya lebih terjadi di Asia, di mana dominasi AS sudah begitu longgar sehingga Tiongkok mulai mengambil alih," kata Adhi.

Sekarang bergantung AS, apakah mereka mampu menunjukkan perannya di Asia sebagai penyeimbang. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin gurita Tiongkok semakin mencengkeram Asia.

"AS harus memiliki penawaran yang menarik agar partner-partner Asia mau kembali kepadanya," pungkasnya.

Baca Juga: