Pengembangan sektor energi terbarukan di Indonesia harus berbasis potensi lokal dengan melihat aspek geografis di setiap daerah.

JAKARTA - Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Deendarlianto, mengatakan target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050 harus menjadi kesempatan mengembangkan energi berbasis potensi lokal.

Dia menambahkan, sebagai negara khatulistiwa yang memiliki curah hujan cukup banyak dan pancaran radiasi matahari cukup tinggi, maka potensi ini dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan energi surya.

Indonesia tercatat memiliki rata-rata daya radiasi matahari sebesar 1.000 watt per meter persegi. Potensi terbesar terletak di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Papua yang memiliki intensitas radiasi mencapai 5.747 dan 5.720 watt per meter persegi yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terintegrasi.

"Pulau Sumatera dan Pulau Jawa yang berada di kawasan cincin api Pasifik atau ring of fire juga dapat menghasilkan potensi energi panas bumi yang cukup besar," kata Deendarlianto dalam siaran pers UGM Talks yang diterima di Jakarta, Kamis (15/4).

Dari beberapa data yang dirilis oleh pemerintah, lanjut Deendarlianto, sekitar 40 persen potensi panas bumi dunia ada di Indonesia. Namun, angka itu perlu divalidasi lagi agar menyakinkan para investor yang akan masuk ke Indonesia.

"Sebagai negara maritim, kita punya garis pantai terpanjang di dunia. Sekarang sudah ada pengembangan biodiesel generasi ketiga dengan memanfaatkan mikroalga di pinggir pantai," ujarnya.

Potensi garis pantai yang panjang itu bisa digunakan sebagai tempat pengembangan mikroalga karena mikroorganisme ini mampu menghasilkan asam lemak dan karbohidrat yang tinggi. Melalui proses esterfikasi, asam lemak mikroalga dapat dikonversi menjadi biodiesel.

Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik yang memanfaatkan karbondioksida dan sinar matahari untuk membentuk biomassa dan menghasilkan sekitar 50 persen oksigen ke atmosfer. Kemudian, potensi lokal yang juga tak kalah menarik tentang energi gelombang dan Ocean Thermal Energy Conversion. Namun, sampai saat ini para ilmuan masih terus melakukan riset dan kajian karena belum memiliki data valid untuk skala lokal.

Persaingan Industri

Dengan memanfaatkan potensi lokal berbasis geografis, maka Indonesia dapat membangun pembangkit EBT secara maksimal dan meningkatkan tumbuh kembang industri pendukung energi tersebut. "Ke depan, persaingan industri semakin lama semakin besar. Karena itu, kita harus punya inovasi dari sisi energi agar industri manufaktur di bidang energi bisa berkembang seiring dengan timbulnya demand baru di energi terbarukan," kata Deendarlianto.

Pada kesempatan lain, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dipasang di atap bangunan menjadi kunci keberhasilan pertumbuhan energi hijau dalam target bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025.

"Per Januari 2021 sudah ada 3.152 pelanggan (PLTS) dengan total kapasitas terpasang mencapai 22.632 megawatt peak (MWp)," kata Dadan dalam keterangannya di Jakarta.

Penambahan pembangkit PLTS atap yang masif, lanjut dia, mampu menekan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 3,2 juta karbondioksida ekuivalen.

Baca Juga: