Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan musim kemarau tahun ini diprediksi akan lebih kering, lebih lama, dan terasa panas terik dari pada tahun sebelumnya. Khusus untuk DKI Jakarta, puncak musim kemarau terjadi hingga September 2019. Wilayah DKI Jakarta pernah mengalami kemarau ekstrem pada tahun 2015. Kategori ekstrem terjadi apabila hujan tidak turun selama lebih dari 60 hari. Tahun 2015, Jakarta 90 hari tanpa hujan.

Dari hasil analisis BMKG didapatkan tiga kategori potensi kekeringan meteorologis yang tersebar di sejumlah wilayah, yaitu Awas, Siaga, dan Waspada. Daerah dengan potensi kekeringan kategori Awas, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, sebagian besar Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Sedangkan untuk kategori Siaga, antara lain Jakarta Utara dan Banten. Kemudian, untuk kategori Waspada, antara lain Aceh, Jambi, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.

Masyarakat diimbau untuk tetap waspada dan berhati-hati terhadap dampak dari musim kemarau panjang ini. Kemarau panjang ini sangat berdampak pada sektor pertanian dengan sistem tadah hujan, pengurangan ketersediaan air tanah (kelangkaan air bersih) dan peningkatan potensi mudahnya terjadi kebakaran.

Dampak musim kemarau ini mulai terasa di sejumlah wilayah dan Jakarta khususnya. Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta menyatakan angka kebakaran meningkat selama musim kemarau. Selama Juni lalu ada 159 kasus kebakaran. Jika dibandingkan bulan-bulan sebelumnya, misalnya pada bulan Maret sebanyak 133 kasus, April 122 kasus, dan Mei 137 kasus, kejadian kebakaran sepanjang Juni 2019 meningkat.

Kita mengimbau masyarakat untuk berhati-hati beraktivitas menggunakan api selama musim kemarau ini. Alang-alang karena kering, lalu dipicu api kecil saja, misalnya puntung rokok, langsung terbakar. Kasus kebakaran alang-alang dan tumbuhan juga terpantau meningkat. Sepanjang Juni 2019 terjadi lima kasus.

Musim kemarau yang lebih kering pada tahun 2019 ini juga membuat pemerintah harus meningkatkan kewaspadaan terhadap daerah yang berpotensi mengalami kekeringan hingga kebakaran lahan. Musim kemarau selalu menjadi ancaman bagi tanaman padi akibat kekeringan sawah. Sejumlah daerah yang mengalami kekeringan dan terancam puso atau gagal panen, antara lain Ciamis seluas 1.040 hektare, Cianjur seluas 1.007 hektare dan Jawa Timur 24.633 hektare.

Sementara itu, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah mengalami puso seluas 1.992 hektare. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat tanaman padi puso tersebut paling dominan terdapat di Kabupaten Gunung Kidul dengan luasan mencapai 1.918 hektare, sedangkan 74 hektare sisanya tersebar di Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Sleman. Padi puso seluas 1.992 hektare yaitu padi tadah hujan.

Untuk mengantisipasi turunnya produksi akibat kekeringan dan puso itu, Kementerian Pertanian harus mengalokasikan sejumlah pompa yang ditempatkan di dinas pertanian tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Salah satu penyebab kekeringan di lahan-lahan pertanian adalah sistem pengairan air yang terhambat.

Untuk meminimalisasi kerugian petani, Kementan sejak awal tahun telah gencar menyosialisasikan program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) sebagai upaya agar petani mendapatkan ganti rugi jika terjadi gagal panen. Asuransi pertanian ini bekerja sama dengan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo).

Petani akan mendapatkan ganti rugi sebesar enam juta rupiah per ha dengan masa pertanggungan sampai masa panen (empat bulan). Premi yang dibayarkan sebesar 180.000 rupiah per hektare. Petani diberikan subsidi dan hanya membayar 36.000 rupiah per ha dan sisanya 144.000 rupiah ditanggung pemerintah. Petani yang mengalami gagal panen pada musim kemarau ini dapat mengajukan klaim ganti rugi.

Baca Juga: