Terhambatnya pemanfaatan Obat Modern Asli Indonesia yang diproduksi industri farmasi nasional ini membuat percepatan kemandirian bahan baku obat dalam negeri tak tercapai.

JAKARTA - Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) bersama Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong kemandirian pasokan bahan baku obat. Hal itu demi mengurangi impor bahan baku obat yang saat ini mencapai 95 persen dari total kebutuhan. Kebergantungan impor tentunya menguras devisa negara.

Saat ini, Kemenristekdikti mendorong agar pemanfaatan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saat ini, OMAI terganjal Permenkes No 54/ 2018 untuk Masuk JKN. Permenkes itu terkait Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Dampaknya, BPJS Kesehatan tidak bisa menutupi biaya pembelian obat-obatan herbal tersebut. Hal ini pemanfaatan OMAI di dunia medis hanya sebatas pelengkap obat-obatan kimia.

Menteri Riset dan Teknologi/ Badan Riset Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, menegaskan hambatan pemanfaatan OMAI berasal dari biodiversitas alam Indonesia karena masalah dari sisi hilir. Salah satu hambatan di sisi hilir adalah OMAI yang tidak bisa diresepkan di program JKN sehingga terdapat keterbatasan pemanfaatan oleh masyarakat.

Sementara dari sisi regulasi, terdapat Peraturan Menteri Kesehatan No 54/2018 yang membuat OMAI tidak bisa masuk Formularium Nasional di program JKN.

Terhambatnya pemanfaatan OMAI yang diproduksi industri farmasi nasional ini membuat percepatan kemandirian bahan baku obat dalam negeri tak tercapai sehingga membuat impor bahan baku obat mencapai 95 persen. Alhasil, lonjakan impor tersebut menggerus devisa negara.

Untuk bisa menekan impor bahan baku obat tersebut, Bambang meminta semua pihak agar mengampanyekan dan juga agar para dokter memiliki keberpihakan kepada OMAI. "Kita tergantung ke impor. Selama ini dokter-dokter kita belum terbiasa memberikan resep obat-obatan herbal kepada pasiennya karena sudah terlanjur nyaman menggunakan obat-obatan kimia," ungkap Bambang Brodjonegoro dalam webinar, Jumat (6/11).

Insentif Fiskal

Berlarut-larutnya kondisi ini justru menghambat penelitian dan pengembangan OMAI oleh industri farmasi nasional. Padahal, pemerintah baru-baru ini menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.010/2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di RI yang mana. Menkeu menjanjikan pengurangan penghasilan bruto hingga 300 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan yang melakukan penelitian dan pengembangan, salah satunya untuk memproduksi obat-obatan herbal.

Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS), Raymond R Tjandrawinata, mengapresiasi langkah pemerintah menerbitkan PMK Nomor 153 Tahun 2020. Pelaku usaha menilai insentif pajak tersebut akan merangsang pelaku industri farmasi untuk melakukan lebih banyak penelitian dan pengembangan OMAI.

Indonesia sendiri memiliki biodiversitas alam terbanyak kedua di dunia setelah Brasil, sehingga bahan baku herbal untuk membuat obat banyak tersedia. Namun sayangnya, pemanfaatan OMAI di Indonesia justru kalah dibandingkan negara-negara lain.

Direktur Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes, Dita Novianti Sugandi, mengaku instansinya sangat mendukung pemanfaatan OMAI di dunia medis. Permenkes Nomor 17 Tahun 2017 disebutnya mengakomodasi pemanfaatan OMAI di fasilitas layanan kesehatan primer, yaitu Puskesmas.

"Tidak ada niat kami menghalangi penggunaan obat herbal dalam JKN, karena buktinya sudah bisa digunakan di fasilitas kesehatan primer," kata Dita Novianti Sugandi.

ers/E-10

Baca Juga: