Dikuasainya kamp militer di Negara Bagian Shan oleh kelompok etnis Kachin telah memberikan kendali atas rute perdagangan utama menuju perbatasan dengan Tiongkok.

YANGON - Kelompok etnis bersenjata Kachin telah merebut kamp militer milik junta di Negara Bagian Shan, Myanmar utara, kata penduduk dan kelompok etnis itu pada Kamis (25/1). Keberhasilan merebut kamp militer itu berarti mengakhiri pertempuran berbulan-bulan untuk menguasai jalur perdagangan utama dengan Tiongkok.

Hilangnya kamp militer tersebut berarti bahwa kelompok etnis bersenjata kini menguasai seluruh rute perdagangan sepanjang 130 kilometer dari Kota Muse di perbatasan dengan Tiongkok ke Hseni, yang terletak sekitar 50 kilometer utara kota terbesar di Negara Bagian Shan di utara, Lashio.

Ini juga merupakan kemunduran terbaru bagi junta militer Myanmar sejak serangan aliansi kelompok etnis pada akhir Oktober yang menyebabkan aliansi itu bisa merebut 15 kota di Negara Bagian Shan utara, menguasai lebih dari 200 kamp militer, dan memaksa penyerahan sebanyak 4.000 tentara junta.

"Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) mengambil alih kamp tersebut pada Rabu (24/1) malam setelah awalnya menguasai Kota Nam Hpat Kar pada 17 Januari lalu," kata juru bicara KIA, Kolonel Naw Bu.

Seorang warga Nam Hpat Kar mengatakan bahwa tentara KIA memasuki kompleks militer pada Rabu dan serangan itu menyebabkan pasukan junta melarikan diri ke kota terdekat, Tarmoenye.

Seorang mantan perwira militer, yang kini bekerja sebagai komentator isu militer dan politik di Myanmar, mengatakan bahwa perebutan kamp militer di Nam Hpat Kar merupakan bukti semakin lemahnya kekuatan junta di wilayah tersebut.

Dalam lima bulan pertempuran antara kelompok etnis bersenjata dan tentara junta di Nam Hpat Kar, lebih dari 50 warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas, menurut warga.

Putuskan Hubungan

Sementara itu dari Negara Bagian Kayin di Myanmar tenggara dilaporkan bahwa Pasukan Penjaga Perbatasan Kayin telah memutuskan hubungan dengan junta yang berkuasa. Keputusan komandan Pasukan Penjaga Perbatasan di Negara Bagian Kayin ini telah memberikan pukulan telak terhadap kekuatan rezim militer dan melemahkan pengaruhnya terhadap kelompok etnis di negara tersebut, kata para pengamat pada Kamis.

Awal bulan ini, Kolonel Saw Chit Thu, seorang etnis Karen yang merupakan mantan pemimpin pemberontak Tentara Buddha Karen Demokrat, mengatakan Pasukan Penjaga Perbatasan (BGF) yang berafiliasi dengan junta tidak akan lagi bertanggung jawab kepada junta. Kolonel Saw juga memproklamirkan netralitas BGF dalam perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan junta.

Pengamat dan analis politik mengatakan bahwa perpecahan tersebut penting karena mengurangi kekuatan militer dan pengaruh junta terhadap kelompok etnis minoritas, yang sebagian besar telah melawan rezim dalam tiga tahun sejak mereka merebut kekuasaan melalui kudeta.

Penarikan dukungan BGF terjadi setelah Kolonel Saw menarik sekitar 300 tentara BGF dari pangkalan militer yang digunakan bersama dengan pasukan junta di dekat perbatasan dengan Thailand.

Dalam keterangannya, Kolonel Saw mengatakan anggota BGF tidak ingin lagi melawan rakyatnya sendiri.

"Sudah 30 tahun masyarakat Karen saling berperang dan membunuh. Jika kami terus menerima dukungan dari Tatmadaw (militer Myanmar), kami harus terus menjalankan tugas tentara di bawah arahan mereka," kata Kolonel Saw.

Hla Kyaw Zaw, seorang analis politik yang berbasis di Tiongkok, mengatakan keputusan tersebut merupakan revolusi damai melawan junta.

"Militer tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Itu sebabnya mereka (meninggalkan pembicaraan) tanpa memberikan jawaban apa pun. Mereka tidak berani mengatakan bahwa mereka akan melawan, atau bahwa mereka akan mengizinkan (perpisahan)," kata dia. RFA/I-1

Baca Juga: