JAKARTA- Keputusan Pemerintah mengintegrasikan pengelolaan pelabuhan ke dalam satu perusahaan yaitu PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo pada 1 Oktober 2021 lalu, terbukti telah berdampak pada ukuran perusahaan dan perbaikan layanan.

Dengan integrasi, maka total muatan (throughput) peti kemas Pelindo pada 2021 mencapai 17 juta TEUs (twenty feet equivalent unit-ukuran peti kemas), dan mengelola lebih dari 100 pelabuhan di Indonesia. Hal itu sekaligus membawa Pelindo menjadi salah satu dari 10 operator pelabuhan terbesar di dunia.

Selain skala bisnis yang semakin besar, merger memudahkan koordinasi antar pelabuhan. Pelindo mudah melakukan standarisasi pelayanan untuk memberi kepastian bagi pengguna pelabuhan (perusahaan pelayaran). Melalui penggabungan, lini usaha Pelindo juga semakin diperluas serta meningkatkan core competence bisnis.

Rentetan perbaikan itu berdampak besar bagi perekonomian. Sistem logistik yang efisien akan mengurangi ketimpangan distribusi dan disparitas harga. Pangan, bahan bakar, dan obat-obatan akan lebih terjangkau oleh masyarakat, di mana pun mereka tinggal. Selain itu, industri juga diuntungkan dengan kemudahan mendapatkan pasokan bahan baku, dan memasarkan produk.

Selain menekan biaya produksi, rendahnya ongkos logistik juga akan meningkatkan pertumbuhan perdagangan dan menjadi kunci untuk menarik investasi.

"Perbaikan layanan pelabuhan secara berjenjang akan menciptakan multiplier effect dan mendorong efek transformatif pada perekonomian," kata Direktur Utama Pelindo, Arif Suhartono dalam keterangan tertulisnya pekan lalu di Jakarta.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pelabuhan di Indonesia Timur rata-rata hanya memuat barang tidak sampai separuh dari volume barang yang dibongkar. Pada 2020 misalnya, tujuh pelabuhan strategis di Indonesia Timur yakni, Bitung, Makassar, Biak, Ambon, Sorong, Jayapura, dan Tenau membongkar 13,8 juta ton barang untuk pelayaran domestik, tapi hanya memuat 6,2 juta ton, tak sampai separuhnya.

Melalui merger, Pelindo ingin berkontribusi dalam mengatasi ketimpangan volume muatan itu dengan mengusung konsep hub (pelabuhan utama) dan spoke (pelabuhan pengumpan), agar kapal dapat bergerak efisien. Pengangkutan barang dalam volume kecil ke destinasi terpencil akan menjadi sangat mahal jika dilakukan secara pointtopoint.

Dari data sebaran dan volume muatan, Pelindo merekomendasikan pelabuhan yang menjadi hub, sebagai pusat pengiriman barang jarak jauh dengan kapal besar, dan spoke, pelabuhan kecil/menengah yang akan menyebarkan barang dari hub ke daerah tujuan.

Penentuan hub dan spoke ini penting untuk penyetaraan tingkat layanan dari barat ke timur sehingga shipping line memiliki kepastian soal waktu sandar.

Penguatan ekosistem logistik

Setelah merger, Pelindo juga memposisikan diri sebagai satu-satunya perusahaan Badan Usaha Milik Negara penyedia one stop solution jasa pelabuhan di Indonesia. Pelindo bukan hanya melayani penanganan kargo, tapi juga menyediakan berbagai jasa logistik, jasa pendukung, bahkan sampai pada usaha pengembangan kawasan ekonomi di luar pelabuhan.

Untuk menangani berbagai kelompok usaha tersebut, dibentuk sejumlah sub holding yang disesuaikan dengan perubahan peran pelabuhan yang bukan lagi sekadar menangani dan menyimpan kargo, tapi telah berkembang menjadi bagian integral dari ekosistem maritim.

Ada sub holding yang khusus mengelola pelabuhan peti kemas, pelabuhan curah dan kargo umum, ada pula sub holding yang mengelola bisnis marine dan jasa pendukung operasi, serta sub holding yang menangani bisnis logistik seperti depo, cold storage, pergudangan, lapangan penumpukan, trucking, hingga custom clearance.

Salah satu terobosan yang sudah dilakukan sub holding yaitu, PT Pelindo Solusi Logistik ikut berinvestasi pada pembangunan Jalan Tol Cibitung- Cilincing. Jalan tol sepanjang 34 kilometer itu akan mempercepat mobilitas logistik melalui akses konektivitas dari kawasan industri di Timur Jakarta seperti Bekasi, Cibitung, Cikarang, dan Karawang (60 persen dari kawasan industri utama di sekitar Jakarta) dengan pelabuhan Tanjung Priok.

Kelancaran akses itu akan menjadi kunci bagi efisiensi dan peningkatan volume angkutan. Untuk itu, Pelindo juga memperbaiki integrasi antarmoda, baik dengan kereta api barang atau truk. Pelabuhan Kuala Tanjung di Kabupaten Batubara, misalnya, kini terhubung dengan Tol Trans Sumatra dan kereta barang, sehingga memiliki akses dengan kawasan industri dan perekonomian di sekitarnya seperti Kuala Tanjung Industrial Estate dan KEK Sei Mangkei.

Bersamaan dengan itu, pengembangan prasarana pelabuhan juga dikebut. Akhir Agustus lalu, Pelindo meresmikan pelabuhan barang terbesar di Kalimantan, yaitu Terminal Kijing di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Terminal dengan proyeksi kapasitas ultimate hingga 1,95 juta TEUs peti kemas dan 28 juta ton barang ini dibangun untuk menggantikan Pelabuhan Dwikora di Pontianak. Diharapkan, Kijing dapat mempercepat akses dari kawasan industri menuju pelabuhan bongkar muat.

Layanan Internasional

Lebih lanjut, Arif Suhartono mengatakan Pelindo juga mengembangkan kerja sama dengan operator global untuk mempercepat standar pelayanan internasional. September lalu, misalnya, Pelindo menggandeng konsorsium Indonesia Investment Authority (INA) dalam pengembangan Terminal Peti Kemas Belawan Baru (Belawan New Container Terminal atau BNCT).

Melalui kerja sama itu, konsorsium INA akan berinvestasi sedikitnya 3,5 triliun rupiah dan mengoperasikan BNCT selama 30 tahun. Setelah masa pengelolaan berakhir, seluruh aset BNCT akan dikembalikan kepada Pelindo.

Berbagai upaya tersebut, khususnya standarisasi layanan dan operasional, kini mulai menampakkan hasil. Kecepatan bongkar muat di Pelabuhan Ambon, Terminal Peti Kemas (TPK) Makassar, Belawan dan Sorong telah meningkat, yang membuat waktu sandar kapal dapat dipangkas dari semula dua hari menjadi separuhnya.

Bahkan di Terminal Peti Kemas Belawan, waktu sandar dapat dipotong menjadi satu hari dari semula tiga hari.

Pengamatan melalui situs Marine Traffic yang memantau pergerakan kapal di seluruh dunia juga menunjukkan hal serupa. Di Pelabuhan Sorong, waktu bongkar muat bisa ditekan hingga 10-15 jam. Kapal peti kemas Oriental Gold yang masuk dari Ambon pada Selasa tengah malam (27/9), misalnya, sudah meninggalkan Sorong sebelum pukul 10 esok harinya.

Melalui berbagai jurus transformasi, kecepatan penanganan peti kemas dapat ditingkatkan hingga dua kali lipat, dan port stay dapat dikurangi dari semula 2- 4 hari menjadi hanya satu hari. "Kini, hampir tak ada antrean di terminal peti kemas kami," kata Arif Suhartono.

Kemajuan juga dirasakan oleh sejumlah operator pelayaran yang menjadi pengguna pelabuhan. Kepala PT Tanto Intim Line Cabang Ambon Vence Pattiwael misalnya mengakui singkatnya waktu bongkar muat jadi lebih singkat.

Bongkar muat kapal dengan muatan 600 peti kemas di Pelabuhan Ambon, katanya, kini dapat dibereskan dalam tempo hanya 36 jam. "Padahal sebelumnya kami pernah bongkar 200 peti kemas saja perlu tiga hari lebih," kata Vence.

Samuel Jonathan, Kepala Cabang Meratus Line Ambon, punya cerita serupa. "Dengan waktu sandar kisaran 30-35 jam, produktivitas bongkar muat naik dua kali lipat dari 400 boks menjadi 800 boks sekali sandar," katanya.

Dari Makassar, Kepala PT Meratus Line Cabang Makassar Steven Kristanto mengakui hal serupa. "Bongkar muat di TPK Makassar juga makin cepat, rata-rata bisa 50 boks per kapal per jam," katanya.

Kepuasan pelanggan

Bambang Gunawan dari PT Salam Pacific Indonesia Lines (SPIL) memuji pelayanan Pelindo yang kini cepat tanggap dan efisien. Meski tak semua pelabuhan mendapatkan tambahan peralatan, hampir semua pelabuhan besar di Indonesia, kinerjanya membaik.

"Di Sorong, misalnya, dulu hari Minggu tidak ada yang bekerja, sekarang sejak pagi pun bisa bongkar muat," kata Bambang. "Ini luar biasa."

Di Pekanbaru dan Jayapura juga sama. Meski kedua pelabuhan tak mendapat tambahan alat, tapi kini terdapat tim teknis yang dapat mengatasi berbagai persoalan dengan cepat. "Di Ambon, dengan perubahan arus traffic, kini port stay jauh lebih singkat," katanya.

Baca Juga: