oleh indrawirawan

"Soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa," kata Bung Karno. Pemenuhan pangan suatu bangsa memang sangat krusial, termasuk dari ternak berupa daging sapi. Permintaan daging sapi nasional tiap tahun meningkat. Ini tren positif terkait kesadaran gizi masyarakat. Konsekuensi pertambahan penduduk dan kenaikan jumlah warga menengah ke atas.

Tarikan ekonominya cukup besar. Meski pangsa pasar domestik sangat tinggi, pemenuhannya dominan dari impor. Menurut BPS, neraca ekspor-impor peternakan tahun 2016-2017 defisit. Rasio ekspor impor 1:7. Sementara itu, target swasembada daging sapi, sejak tahun 2004 melalui Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau telah dicanangkan. Ini berarti hampir 15 tahun, namun belum terealisasi.

Tentu ini merupakan cita-cita luhur dan tantangan yang sangat besar di balik potensi 3.711.441 rumah tangga dengan usaha utama peternakan (Survei Pertanian antar Sensus, 2018). Bisnis sapi potong, termasuk sebagian besar dari jutaan rumah tangga ini.

Kebutuhan daging nasional tercatat sebesar 653,98 ribu ton. Sedang kemampuan produksi domestik hanya 416,10 ribu ton. Bahkan, pada waktu tertentu terjadi lonjakan permintaan sapi dan daging. Ini terutama terjadi pada masa-masa high season seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru. Lonjakan biasanya diiringi kenaikan harga daging sehingga dikhawatirkan meningkatkan inflasi.

Ironisnya, di tengah bertumbuhnya permintaan daging, bisnis peternakan sapi potong malah lesu. Walaupun diusahakan jutaan rumah tangga, minat para pemodal untuk menginvestasikan PMDN maupun PMA pada usaha sapi potong tergolong rendah.

Nilai PMDN bisnis ternak sapi dan kerbau tahun 2017 hanya 9,03 persen dari total investasi domestik peternakan. Sementara itu, nilai PMA tahun 2017 lebih kecil lagi, hanya 1,65 persen dari total investasi asing bidang peternakan. Kondisi ini semakin membuat terseok-seoknya bisnis sapi potong, di mana kontribusi populasi sapi nasional dominan disuplai peternakan rakyat dengan skala kepemilikan 2-3 ekor.

Belum lagi soal ekspansi perdagangan internasional. Ada ancaman dari pengekspor utama sapi potong seperti Australia dan Selandia Baru yang lebih ekonomis, efisien, dan skala populasi sapi sangat besar.

Kekhawatiran bertambah setelah tahun ini ditandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (IA-CEPA) antara Indonesia dan Australia. Ini secara bertahap akan membebaskan bea masuk pangan Australia ke Indonesia.

Kebijakan impor daging kerbau beku dari India juga disorot karena bermasalah dari aspek kesehatan. India secara country base belum bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Padahal pemenuhan kebutuhan pangan ternak bukan hanya dilihat dari aspek kuantitas. tapi juga keamanan dan kesehatan.

Gaya hidup masyarakat juga berpengaruh tidak sedikit. Pergeseran konsumen yang lebih cenderung berbelanja di pasar-pasar ritel daripada pasar-pasar basah juga menjadi kendala. Hasil pemotongan dari peternakan rakyat, umumnya hanya bisa masuk ke pasar-pasar tradisional. Salah satunya karena packaging tidak sesuai dengan standar. Tak heran, bila pangsa pasar daging beku impor semakin luas.

Soal harga, daging impor lebih diminati konsumen karena jauh lebih murah. Harga daging impor sekitar 80.000--00.000 rupiah per kg, sedangkan harga daging lokal 120.000 rupiah per kg. Sementara itu, biaya produksi peternak lokal masih tinggi, meski begitu terkadang belum dadpat menutup harga pokok produksi.

Terobosan

Ada beberapa terobosan yang perlu dicermati pemerintah, di antaranya melindungi peternak lokal dengan membatasi impor daging beku. Hal ini berarti bukan membiarkan pasar daging menjadi bergejolak karena kurangpasokan, namun perhitungan kemampuan produksi dalam negeri betul-betul harus tepat.

Penambahan jumlah kepemilikan ternak. Salah satu alasan utama usaha peternakan rakyat belum efisien karena jumlah kepemilikan ternak kurang. Ini perlu dukungan pemerintah, namun tetap perlu selektif.

Dipilih peternak yang betul-betul mau dan berkomitmen meningkatkan skala usahanya. Mereka didampingi dan dibina agar menjadi pengusaha lokal.

Perlu kerja sama antar-stakeholders dan antar-instansi. Instansi-instansi pemerintah yang terlibat dalam usaha peternakan, selain Kementerian Pertanian (Kementan) sangat perlu didukung Kementerian Perdagangan (Kemendag).

Program dan kebijakan antar-instansi ini kadang tumpang-tindih. Kementan memprogramkan untuk menggencarkan peningkatan populasi ternak. Di sisi lain, Kemendag jangan impor besar-besaran untuk menjawab permintaan. Perbedaan data kebutuhan dan produksi yang dirilis BPS, Kementan, dan Kemendag harus disinkronkan.

Perlu investasi dan keterlibatan sektor swasta atau badan usaha milik pemerintah (BUMN). Manajemen peternakan rakyat yang masih sederhana dan konvesional, jika tidak didukung perusahaan swasta dan BUMN cenderung stagnan. Ini terlihat dari komposisi pendidikan yang bekerja di sub sektor peternakan sebanyak 33,55 persen berpendidikan SD.

Artinya, dari segi kualitas SDM sulit bersaing. Dengan keterlibatan swasta dan BUMN baik dari jumlah investasi maupun badan usahanya diharapkan dapat menutupi celah ini.

Pola konsumsi masyarakat tidak hanya mengonsumsi daging segar (fresh meat), tetapi juga olahan. Maka perlu meningkatkan nilai tambah (diolah). Pertumbuhan sektor pengolahan diharapkan menyerap produksi daging dalam negeri dan menambah lapangan kerja.

Disadari, peningkatan populasi dan pemenuhan kebutuhan sapi potong tidak bisa diwujudkan dalam waktu singkat. Solusi-solusi instan dalam memenuhinya, misalnya, lewat impor hanya akan membuat Indonesia berada pada pusaran perangkap pangan.

Maka, dibutuhkan kerja sama serius untuk membenahi. Selain itu keberpihakan pemerintah lebih lanjut sangat dinantikan. Kontribusi usaha peternakan tidak bisa diabaikan karena menjadi tumpuan harapan ekonomi jutaan masyarakat desa. Penulis Mahasiswa S2 Ilmu Peternakan UGM

Baca Juga: