Untuk menjaga inflasi terkendali bisa dilakukan dengan menjaga alur produksi dan distribusi komoditas yang berpotensi menyumbang inflasi tinggi, terutama beras, cabai, dan bawang.

JAKARTA - Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 5-5,5 persen, lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Seiring dengan itu, inflasi juga akan mengikutinya. Karena itu, pemerintah perlu menjamin kelancaran distribusi bahan pokok (bapok) yang menjadi penyumbang terbesar terhadap inflasi.

Peneliti Ekonomi Core, Yusuf Rendy Manilet, menegaskan, secara teoritis, inflasi umumnya akan mengikuti perkembangan dari perekonomian. "Jika perekononomian mengarah ke arah pertumbuhan positif maka inflasi juga kecenderungan mengikuti. Makanya pada 2021, inflasi meningkat dibandingkan tahun sebelumnya karena pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih tinggi," ungkap Yusuf, di Jakarta, Rabu (5/1).

Untuk 2022, beber dia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan lebih tinggi dibandingkan 2021. Dari faktor ini saja, inflasi sudah pasti akan lebih tinggi pada tahun ini (dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut terealisasikan), ditambah beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, seperti kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), kenaikan harga gas, dan tarif cukai.

"Untuk menjaga inflasi terkendali tentu bisa dilakukan dengan menjaga alur produksi dan distribusi komoditas yang berpotensi menyumbang inflasi tinggi, seperti beras, cabai, bawang, dan sebagainya. Namun yang tidak kalah penting, sebenarnya menjaga agar kenaikan inflasi tidak menekan daya beli masyarakat secara umum, terutama untuk kelas menengah bawah," ucapnya.

Dia juga berharap agar jaring pengaman sosial menjadi bagian esensial untuk diperhatikan pemerintah. "Bantuan seperti bansos dan subsidi harus tersalurkan secara cepat dan tepat," ucap Yusuf.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menuturkan, di tengah masa pandemi, inflasi Indonesia relatif terkendali dibandingkan beberapa negara. Dia menyebutkan inflasi di Singapura tercatat sebesar 3,8 persen (yoy), Zona Euro sebesar 4,9 persen (yoy) dan Amerika Serikat (AS) sebesar 6,8 persen (yoy) pada November 2021. Tingginya inflasi di negara tersebut dipicu ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan (supply-demand) dan krisis energi.

Di tengah tekanan inflasi di berbagai negara maju tersebut, laju inflasi Indonesia pada 2021 masih terkendali pada level rendah dan stabil, serta di bawah kisaran target sebesar 2-4 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan inflasi pada 2021 mencapai 1,87 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan capaian pada 2020 sebesar 1,68 persen.

Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. "Pencapaian realisasi inflasi tahun 2021 didukung oleh inflasi volatile food (VF) yang masih terjaga di tengah peningkatan inflasi administered prices (AP) dan masih terbatasnya inflasi inti," ungkapnya.

Diprediksi Naik

Inflasi pada 2022 diperkirakan meningkat dibanding capaian pada 2021. Permintaan domestik yang semakin pulih seiring bergeliatnya aktivitas ekonomi diperkirakan sebagai pemicu peningkatan inflasi.

Pemerintah, kata Airlangga, terus memonitor imported inflation seiring tren kenaikan harga komoditas global dan normalisasi kebijakan moneter bank sentral dunia. "Di tengah berbagai tantangan yang akan dihadapi pada 2022, komitmen dan sinergi bersama seluruh pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Bank Indonesia untuk menguatkan koordinasi kebijakan strategi pengendalian inflasi menjadi kunci untuk menjaga inflasi tetap terkendali," jelasnya.

Baca Juga: