Wacana perlunya oposisi sebagai kekuatan untuk mengimbangi pemerintahan yang berkuasa, terus bergulir. Format koalisi dan opisis di Indonesia semakin menarik dibahas.

JAKARTA- Meskipun dalam Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dikenal istilah oposisi, namun fungsi oposisi tetap ada sebagai kelompok penyeimbang pemerintah. Oposisi itu dilakukan oleh partai di luar penguasa, beserta civil society yang mengawasi dan mengkritisi jalannya pemerintahan.

"Ada gejala, kelompok penyeimbang ini akan semakin kecil setelah beberapa partai Koalisi Adil Makmur menyeberang. Kondisi seperti ini sebenarnya patut disayangkan, karena kekuasaan yang menumpuk dalam satu tangan namanya tirani," ujar pakar hukum tata negara, Juanda dalam Diskusi Empat Pilar di Media Center, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/7).

Juanda mengatakan, kalau benar kelompok penyeimbang, kemungkinan besar itu hanya dilakukan PKS dan Gerindra, atau sebesar 22 persen jumlah kursi di parlemen, yang menurutnya akan kurang efektif. Karena jumlah kelompok pendukung pemerintah sangat besar mencapai 78 persen. Atas dasar itu, Juanda berharap partai-partai yang mendukung Prabowo-Sandi tetap pada posisinya, sebagai penyeimbang pemerintah.

"Ini memperlihatkan kondisi demokrasi yang tidak sehat, sekaligus menunjukkan bahwa elite politik belum menunjukkan sikap konsisten dalam mengambil pilihan politik. Padahal, kalau partai yang tergabung dalam Koalisi Adil Makmur eksis seperti dukungannya pada pemilu, hal itu akan menyehatkan demokrasi kita," tandasnya.

Sementara itu, ditemui di sekitar ruang Komisi III DPRRI, Politikus Partai Nasdem, Taufiqulhadi, menerangkan bahwa rekonsiliasi tidak diperlukan jika dalam pandangan bagi-bagi kursi. Namun, rekonsiliasi harus dilakukan dalam konteks kepentingan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, adanya koalisi oposisi adalah untuk kepentingan rakyat.

"Jadi, tidak perlu menurut saya karena ada sebuah ajakan untuk rekonsiliasi, lantas harus memberikan kursi. Bahkan saya menyerukan kepada partai-partai misalnya Gerindra, PKS, PAN, untuk tetap berada di luar. Itu akan baik bagi rakyat Indonesia dan itu baik bagi demokrasi," jelasnya.

Menurutnya, pandangan masyarakat Indonesia tidak semuanya memilih Jokowi-Ma'ruf. Ia pun khawatir jika semua partai bergabung, maka nantinya Jokowi akan dianggap sebagai neo orde baru dan itu tidak baik bagi Indonesia.

"Menurut saya bagi koalisi yang memerintah ideal, tapi tidak ideal bagi rakyat Indonesia. Lebih baik tidak perlu bergabung, lebih baik tidak perlu," pungkasnya. tri.

Pilihan Mulia

Sementara Anggota MPRRI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, mengharapkan partainya dapat menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintahan, serta melaksanakan fungsi check and balance, sebagai oposisi yang kritis dan konstruktif. Hal itu ia ungkapkan berdasarkan aspirasi dan masukan dari para kader dan simpatisan partai.

"Oposisi itu pilihan sikap yang mulia. Bahkan, sekecil apapun jumlahnya, jika dia melakukannya secara cerdas, maka bisa efektif. Lihatlah kisah cicak versus buaya, siapa menyangka cicak akan menang. Tapi karena rakyat mendukung, maka hasilnya bisa lain", kata Mardani dalam Diskusi Empat Pilar di Media Center, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/7).

Menurut Mardani, meskipun menjadi oposisi, dalam berpolitik para elit perlu menjaga etika dan rasionalitas. Tanpa etika dan rasionalitas, lanjut dia, demokrasi akan terhenti di tengah jalan. Oleh karena itu, Mardani tetap berharap pasca Pemilu, Prabowo bisa bertemu dengan Jokowi, sekaligus menyatakan akan menjadi kekuatan penyeimbang bagi pemerintah.

"Kalau semua partai mendapat jatah kursi, ini namanya akuisisi, bukan rekonsiliasi. Kalau tidak ada oposisi, publik akan merugi, dan itu akan melahirkan neo orde baru", imbuhnya. tri/AR-3

Baca Juga: