Kekeringan telah membuat krisis air di beberapa daerah. Bahkan, pertanian di sejumlah daerah mulai kesulitan air sehingga terancam mengalami gagal panen. Kondisi ini diperkirakan sampai Oktober mendatang.

Kekeringan yang merupakan bagian dari musim kemarau telah membuat pasokan air di sungai menyusut drastis. Di satu sisi, kebutuhan air masih meningkat sehingga kekeringan menahun masih terjadi di wilayah tersebut.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan ada sekitar 105 kabupaten/kota, 715 kecamatan, dan 2.726 kelurahan/desa yang mengalami kekeringan di Jawa dan Nusa Tenggara (NTT). Dari wilayah yang kekeringan ini, sekitar 3,9 juta jiwa masyarakat terdampak sehingga memerlukan bantuan air bersih. Bukan itu saja, BNPB melaporkan kekeringan juga menyebabkan 56.334 hektare lahan pertanian mengalami, sehingga 18.516 hektare lahan pertanian gagal panen.

Berdasarkan sebaran wilayahnya, kekeringan di Jawa Tengah melanda 1.254 desa yang tersebar di 275 kecamatan dan 30 kabupaten/kota sehingga memberikan dampak kekeringan terdapat 1,41 juta jiwa atau 404.212 KK. Sementara itu, pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan status siaga darurat kekeringan hingga Oktober 2017. Di Jawa Barat kekeringan melanda 496 desa di 176 kecamatan dan 27 kabupaten/kota sehingga berdampak kepada 936.328 jiwa penduduk. Disebutkan juga delapan kepala daerah kabupaten/kota telah mengeluarkan status siaga darurat kekeringan, yaitu Kabupaten Ciamis, Cianjur, Indramayu, Karawang, Kuningan, Sukabumi, Kota Banjar, dan Kota Tasikmalaya.

Begitu pula halnya dengan di Jawa Timur, kekeringan melanda 588 desa di 171 kecamatan dan 23 kabupaten/kota. Di Provinsi DI Yogyakarta, kekeringan melanda di 10 kecamatan di Kabupaten Kulon Progo. Di 10 kecamatan tersebut ada 32 desa yang terdampak kekeringan , ada 12.721 Jiwa di dalam 7.621 KK yang terdampak kekeringan di musim kemarau ini, sedangkan di Nusa Tenggara Barat kekeringan melanda 318 desa di 71 kecamatan yang tersebar di sembilan kabupaten, meliputi Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu, Bima dan Kota Bima.Sebanyak 640.048 jiwa atau 127.940 KK masyarakat terdampak kekeringan.

Sementara di sembilan kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dilaporkan mengalami darurat kekeringan. Sembilan kabupaten yang melaporkan darurat kekeringan itu adalah Flores Timur, Rote Ndao, Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Malaka, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Sabu Raijua.

Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagian besar Pulau Jawa saat ini sedang mengalami puncak musim kemarau, dan akan masuk awal musim hujan pada Oktober-November 2017. Awal Musim Hujan 2017/2018 di sebagian besar daerah diprakirakan mulai akhir Oktober-November 2017 sebanyak 260 zona musim dan mengalami puncak musim hujan pada Desember 2017-Februari 2018. BMKG memastikan kekeringan pada 2017 ini tidak sama dengan 2015 yang disebabkan oleh El Nino. Ini artinya, kekeringan akan segera berakhir pada bulan depan.

Pemerintah memang telah melakukan upaya jangka pendek seperti bantuan dropping air bersih melalui tangki air. BPBD bersama SKPD, relawan dan dunia usaha telah menyalurkan jutaan liter air bersih kepada masyarakat. Beberapa daerah dijadwal untuk pengiriman bantuan air bersih karena keterbatasan mobil tangki air.

Soalnya kemudian, antisipasi dampak dari kekeringan terkesan lambat. Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan, seperti pembangunan waduk, embung, dan bendung ternyata tidak langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang terkena kekeringan.

Kita pun menjadi bertanya-tanya, kenapa pembangunan fasilitas penampung air tidak berfungsi? Padahal, anggaran untuk pembangunan fasilitas itu tidak sedikit. Jika perencanaan dan realisasinya sesuai dengan kondisi masyarakat, seharusnya kita sudah tak lagi menghadapi krisis air.

Baca Juga: