Masyarakat adat sampai saat ini masih memanfaatkan alam khususnya kulit pohon untuk kebutuhan pakaian, asesoris bahkan untuk menulis. Kekayaan budaya ini dapat disaksikan di Museum Sri Baduga Kota Bandung.

Pameran kertas kulit pohon atau daluang ini dapat disaksikan dan dilihat proses pembuatannya di museum tersebut dengan tajuk Hidden Treasure: Daluang, Fuya, and Tapa. Pameran itu tentunya mengangkat warisan budaya tak benda berupa daluang atau kertas saeh yang dulu digunakan sebagai media penulisan dan gambar.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat (Jabar) Ida Hernida menyatakan pada zamannya bahkan sampai kini, daluang memiliki peran yang penting sebagai alat untuk menulis, sebagai bahan pakaian atau ikat kepala. Namun sayangnya kini fungsi itu mulai ditinggalkan.

Sejumlah masyarakat memang masih giat melestarikan daluang ini, meski fungsi ekonomi lebih kental. Biasanya untuk digunakan sebagai kanvas lukis yang membuat lukisan terkesan natural dan klasik. Nilainya pun menjadi lebih mahal dari kain kanvas biasa.

"Daluang merupakan warisan tradisi yang unik dan perlu dilindungi dan perlu dimanfaatkan kembali sesuai dengan kebutuhan saat ini," ujarnya belum lama ini.

Keberadaan daluang atau yang di wilayah lain disebut fuya atau tapa memiliki peran yang sangat sentral dalam sejarah kemajuan literasi dan industri tekstil dunia. Sebelum mengenal teknik tenun, masyarakat membuat pakaian dari kain kulit kayu yang dibuat dengan cara dipukul menggunakan pemukul kayu atau batu.

Bukti keberadaannya diperkuat data etnografi, karena sampai saat ini beberapa suku pedalaman dan kelompok masyarakat tradisional masih membuat kain dan kertas dari kulit kayu dengan peralatan yang sama. Itulah mengapa museum ini mengambil budaya daluang untuk memperkenalkan pada generasi muda, mengenai sejarah warisan budaya leluhur.

Benda yang ditampilkan kali ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia hingga beberapa negara di dunia yang memiliki budaya yang sama dalam pemanfaatan kulit kayu. Negara-negara tersebut seperti Thailand, Meksiko, serta beberapa negara Amerika Latin lainnya. Adapun koleksi yang dipamerkan seperti naskah kuno, gambar, pakaian, hiasan dinding, asesoris, alat pembuatan daluang, serta Alquran kuno yang dibuat sekitar abad ke-17.

Pameran ini setidaknya akan menginspirasi manfaat ekonomi yang dapat dikembangkan, sekaligus melestarikan budaya leluhur. Misalnya diolah menjadi bahan pakaian dan ikat kepala adat, bisa juga dituangkan dalam bentuk produk kerajinan yang lain, misalnya dompet, layang-layang daluang dan lainnya.

Event ini diikuti tiga belas museum di Indonesia dan enam museum Asia Pasifik yakni National Museum Of Prehistory, Taiwan, New Zealand, Papua New Gunea, Mexico, Guatemala, Samoa. Koleksi yang dapat dilihat keunikannya adalah fuya dan tapa atau busana tradisional, dan busana kontemporer serta peninggalan Alquran kuno dari bahan daluang.

Menjaga Warisan

Daluang atau kertas dari kulit pohon di wilayah Jabar dibuat dengan menggunakan kulit pohon Saeh. Ada beberapa sanggar di Bandung yang melestarikan membuat daluang ini. Salah satunya adalah Sanggar Kami yang tidak jauh dari Curug Dago, Kota Bandung. Pengelolanya menyebut sebagai Toekang Saeh, atau pembuat saeh (daluang).

Untuk mencapainya memang harus menggunakan kendaraan roda dua. Sebab hanya ada jalan beton selebar satu setengah meter yang menjadi jalan utama. Lokasinya bersebelahan dengan Sekolah Alam Dago Pojok atau Leuwi Go'eng.

Tidak banyak yang istimewa dari tempat ini, hanya rumah kayu berlantai dua yang menjadi bengkel bagi pemiliknya Mufid Sururi. Terlihat sejumlah peralatan tukang untuk membuat kertas baik di rumah utama ataupun di gubuk kecil tidak jauh dari rumah tersebut. Gubuk yang ada di lembah asri kawasan Dago ini menjadi bengkel untuk membuat daluang dari kayu saeh.

Menurut Mufid, daluang merupakan produk kertas yang berasal dari kulit pohon Saeh yang pembuatannya dilakukan dengan metoda kempa di mana kulit kayu dipukul-pukul hingga menipis.

Ada juga metode lainnya yakni kertas dibuat dengan dengan metoda saring atau pulping, seperti membuat bubur kertas dan dicetak.

Pohon Saeh atau yang disebut juga Paper Mulberry nampak tumbuh mengelilingi rumah workshop Toekang Saeh ini. Saeh merupakan sejenis perdu dengan ketinggian mencapai 12 meter. Tanaman yang memiliki nama latin Broussonetia papyrifera ini memang sekarang sudah cukup langka dan sulit dijumpai. Sehingga menyulitkan pula dalam melestarikan pembuatan daluang. Padahal permintaan, khususnya untuk bahan kerajinan sangat tinggi. Harganya pun konon lebih mahal dari kain sutra per meternya. Namun memang sangat jarang menemui daluang dalam ukuran lebar.

Di tempat ini workshop biasanya dilakukan, pesertanya bukan hanya anak-anak sekolah, namun terkadang ada juga warga asing yang tertarik untuk belajar.

Sururi mengaku keterbatasan produksi daluang ini. Pemerintah pun menetapkan daluang atau kertas saeh ini menjadi warisan budaya tak benda sejak tahun 2014.

"Kalau di Jepang ada washi. Di Korea ada hanji. Di Mesir ada papyrus dan di Meksiko ada amate paper yang hingga kini masih terjaga. Lalu, daluang sebagai pembuatan kertas khas Nusantara sendiri gimana?" katanya.

Sehingga ia pun menanam pohon saeh sendiri untuk memenuhi produksi. Sejauh ini, selain di Bandung dia menanam pohon Saeh atau Paper mulberry ini di Tangerang, Sukoharjo, hingga Pacitan. tgh/R-1

Cara Membuat

Daluang dibuat dengan menggunakan kulit kayu pohon saeh. Biasanya yang sudah berumur satu tahun lebih. Pohon saeh yang dipanen juga harus memiliki batang yang mulus sehingga nantinya kertas daluang tidak berlubang.

Batang pohon saeh lalu dipotong dengan ukuran panjang yang dikehendaki, saat nantinya menjadi ukuran kertas. Misal dalam ukuran 50 cm. Kulit kemudian dikupas dan dibersihkan kulit arinya. Setelah bersih kemudian ditempa atau ditumbuk dengan alat pemukul khusus hingga mencapai ketebalan yang dikehendaki.

Lembaran bahan daluang kemudian dicuci bersih dan disimpan dengan dibungkus daun pisang selama sekitar satu minggu. Jika sudah siap, ditandai dengan munculnya lendir atau terasa lengket, daluang kemudian kembali dicuci dan dijemur.

Penjemurannya pun dengan menempelkan pada batang pohon pisang agar mengikuti konturnya yang mulus dan licin dan menggunakan pemanas matahari. Jika sudah kering, daluang akan mengelupas sendiri, yang berarti sudah jadi dan siap untuk digunakan. tgh/R-1

Baca Juga: