Pandemi virus korona baru atau Covid-19 tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan saja. Hampir seluruh sektor terpukul, termasuk juga sektor kebudayaan dan ekonomi kreatif.
Para pekerja di sektor tersebut menghentikan kegiatan selama pandemi sehingga berdampak pada penurunan perekonomian mereka. Di sisi lain, menghadapi adaptasi kenormalan baru (AKB), sektor tersebut butuh perhatian lebih agar dapat menjalankan kegiatan.
Perhatian tidak hanya untuk para pekerja, tapi juga konsumen atau pengguna produk-produk kreatif mereka. Sehingga, sektor tersebut tidak menjadi klaster penyebaran virus Covid-19.
Terbaru, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telah menyusun Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Teknis Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Bidang Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif dalam Masa Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Secara umum, SKB tersebut merupakan protokol yang harus dipenuhi bagi para pegiat budaya dan ekonomi kreatif dalam melakukan kegiatan produksinwya.
Untuk mengupas terkait keberlangsungan sektor kebudayaan dan ekonomi kreatif, juga tentang SKB dua menteri, Koran Jakarta mewawancarai Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud, Hilmar Farid. Berikut petikan wawancaranya.
Bisa dijelaskan latar belakang penyusunan SKB ini?
SKB ini didorong oleh situasi yang cukup mendesak. Teman-teman di lapangan butuh pegangan yang sifatnya legal dengan dasar hukum jelas untuk menjalankan kegiatan-kegiatan kebudayaan dan ekonomi kreatif secara khusus.
Ada banyak yang menunggu SKB ini terutama penyelenggara kegiatan-kegiatan seperti produksi film dan tempat-tempat pertunjukan, cagar budaya dan museum. Jadi, cukup banyak stakeholder yang sangat menantikan SKB ini.
Kenapa regulasinya dalam format SKB?
Kenapa SKB karena ada irisan antara dua kementerian yaitu Kemendikbud dan Kemenparekraf. Kami berpikir daripada masing-masing coba membuat regulasi sendiri, nanti di lapangan terlalu banyak pegangan dan malah jadi bingung. Lebih baik ada SKB dan ini nanti bisa diterjemahkan sesuai kondisi di masing-masing daerah.
Bagaimana keterkaitan antara SKB ini dengan regulasi di daerah?
SKB ini memuat protokol atau pedoman pegangan bagi penyelenggara di lapangan. Tapi, status dari suatu wilayah ada di pemerintah daerah. Apabila daerah termasuk zona hijau atau merah itu ada di kepala daerah. Panduan teknis ini tidak menggantikan kewenangan daerah membuka tutup sebuah wilayah untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Itu ada di kepala daerah. Kalau kepala daerah menilai wilayahnya aman, yang berlaku adalah SKB ini.
Jika aman, berarti SKB ini bisa langsung diimplementasikan?
SKB ini yang penting implementasinya. Kita sudah bikin bantuan teknis, jadi harus ada sosialisasi. Kami minta asosiasi menyosialisasikan panduan teknis ini untuk bisa diimplementasikan di lapangan. Kementerian juga akan ada pertemuan dengan dinas membahas teknis ini.
Untuk pengimplementasiannya, paling ideal masing-masing lokasi menyusun standar operasional prosedur (SOP). Prinsipnya paling penting pegangan dasarnya. Kita berpegang ke Peraturan Menteri Kesehatan terkait penerjemahan di bidang ekonomi kreatif ini.
Dipersilakan membuat SOP karena contoh setiap bioskop yang punya kekhasan atau kondisi khusus begitu juga taman budaya. Syaratnya tidak boleh longgar dari ini. Mau lebih ketat silakan saja. Tapi, benchmark minimal seperti SKB ini. Sama seperti kami menyusun panduan teknis ini tidak boleh kurang dari yang Permenkes.
Apa harapan Anda dari adanya SKB ini?
Ini mempermudah dan memfasilitasi teman-teman berkegiatan di lapangan. Kita tahu persis banyak kegiatan tertunda dan batal pengaruhnya secara ekonomi bagi pengelola tidak kecil. Kami tentu tidak bisa berdiam diri dan mendukung adanya regulasi ini. Harapannya bisa pulih sektor ekonomi kreatif dan kebudayaan. muh ma'arup/P-4