JAKARTA - Petani di Indonesia tidak akan mungkin mampu bersaing dengan para petani di negara lain. Di beberapa negara eksportir pangan dunia, petani dibantu pemerintah, di subsidi 30 hingga 100 persen dari biaya produksinya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sementara petani Indonesia terkesan dibiarkan tanpa bantuan. Memang ada bantuan pupuk brsubsidi, tapi mencarinya susah setengah mati karena banyak bocor di pasar. Sehingga tak heran, dalam kondisi seperti itu banyak petani yang menjual tanah untuk kepentingan sesaat tapi setelah itu miskin.
Oleh sebab itu, pemerintah baru nanti diharapkan bisa mengubah haluan dan mau belajar dari kesalahan di masa lalu. Pemerintah harus sadar kalau aparat lebih suka impor daripada memakmurkan rakyatnya karena mendapat fee dari impor. Harapan itu ada karena Presiden terpilih, Prabowo Subianto pernah mengatakan agar para menteri tidak ambil uang APBN.
Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko dari Yogyakarta, Rabu (16/10) mengkritik kebijakan impor yang lebih menguntungkan aparat dan pengusaha ketimbang memakmurkan petani lokal. Kondisi tersebut semakin parah dengan alih fungsi lahan subur di Pulau Jawa untuk keperluan properti dan industri, sementara proyek-proyek pertanian di Merauke, Papua Selatan, sering kali tidak sesuai dengan kondisi alam.
"Lahan di Papua itu unsur hara rendah. Pulau Jawa tanahnya subur dan harus dilindungi," tambahnya. I Dia juga menggarisbawahi pentingnya swasembada pangan di tengah ancaman krisis pangan global. Ia menyebut prediksi FAO (Oraganisasi Pangan dan Pertanian Dunia) tentang kekurangan pangan telah memaksa negara-negara menghentikan ekspor dan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Ia membandingkan kebijakan itu dengan pendekatan Calon Presiden AS Donald Trump, yang menurutnya berani mengambil langkah tegas untuk melindungi industri dan pekerja lokal," kata Aditya.
Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, mengatakan Trump sebagai pebisnis mengerti akar masalahnya. Dia bahkan mengancam industri AS yang lakukan offshore manufakturing dengan tarif masuk 100 persen.
Langkah perusahaan AS yang membuka industrinya di luar negeri menurutnya tidak fair karena untuk mendapatkan laba yang tinggi mereka berinvestasi di tempat yang murah. Bloomberg bahkan menyatakan kebijakan tarif sangat merugikan, namun ketika mereka tahu bahwa kebijakan tarif itu bagus, barulah mereka kaget. Di Indonesia, dengan tarif masuk gandum dan kedelai sebesar 0 persen sangat tidak fair. Tarif impor pangan harus tinggi untuk melindungi petani Indonesia.
Gunakan hasilnya untuk membiayai pembangunan pertanian mandiri Indonesia. Karena itu ia berharap Presiden terpilih Prabowo membentuk menteri koordinasi reformasi industri dan pangan. "Sehingga nanti jelas yang disebut investor itu siapa.
Jangan karena obligasi kita dibeli Singapura, terus Singapura dianggap investor. Singapura sih berpikiran, bila perlu kita beli lagi obligasi yang dikeluarkan Indonesia dengan syarat mereka menjual pasir ke kita. Bukan salah mereka, tapi kenapa kita mau," katanya. Menurutnya, jika pemerintah mau memberi insentif tax holiday di IKN selama lima tahun, maka investor pasti pindah ke sana. Rakyat setempat pun tidak akan marah karena lapangan kerja terbuka dan ekonomi otomatis akan bangun.
Di AS, Trump mengatakan warga AS yang tinggal di luar negeri akan dihapus pajak berganda, dan itu jumlahnya ada sekitar empat juta. Trump berpikir kenapa harus bayar pajak kepada dua negara. Misalnya warga AS tinggal di Indonesia, kalau sudah memebayar pajak di Indonesia kenapa harus membayar pajak ke Pemerintah AS juga. Pajak korporasi juga akan turun menjadi 15 persen supaya ada modal berekspansi sehingga buka lapangan kerja.
Kenapa Singapura cuma 15 persen, supaya asing berinvestasi di sana. "Jadi, bagaimana kita bersaing dengan tetangga kita yang tarif pajaknya rendah dan tidak ada pajak siluman. Siapa yang mau datang kalau ICOR Indonesia tinggi. Belanja Obligasi Rekap BLBI sampai 800 triliun rupiah. Jangan pajak tinggi supaya investor datang. Ekonom sudah peringatkan, tapi tidak didengar. Mereka menyenangkan kroni, tapi mematikan bangsanya. Masa penghasilan dua juta sebulan dibilang kelas menengah, itu masuk kategori miskin. Presiden baru harus mengerti akar masalah ini," katanya.
Mematikan Bangsa
Lebih lanjut, Siprianus juga menyoroti kronisme dan oligarki yang matikan satu bangsa. Mereka sangat menentukan arah bangsa Indonesia dengan membuat industri mati, daya saing mati karena mereka pedagang dan broker, hanya bermodal dengkul. Tiongkok saja yang besar colaps karena kredit ke properti. Kredit yang begitu besar di Indonesia ke properti itu karena diarahkan penguasa. Karena spekulator properti itu kroninya.
Karena itu dikatakan bahwa oligarki dan kronisme mematikan satu bangsa. Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Baidul Hadi, mengatakan kuatnya pengaruh oligarki di Indonesia telah menciptakan berbagai hambatan struktural bagi peningkatan daya saing industri dan sektor pertanian.
"Konsentrasi kekuasaan dan kekayaan pada elite yang sempit mengakibatkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya, regulasi yang berpihak pada segelintir pelaku usaha besar, serta kurangnya dorongan untuk inovasi dan teknologi," tegas Badiul.
Dia menjelaskan bahwa ada dominasi oligarki dalam kebijakan ekonomi termasuk pada sektor industri dan pertanian. "Seharusnya dominasi ini didorong untuk meningkatkan daya saing global, namun justru sebaliknya sering terhambat oleh regulasi yang dirancang guna melindungi kepentingan oligarki, bukan produktivitas nasional," tandas Badiul.
Selain itu, monopoli sumber daya dan investasi strategis membatasi kesempatan para pelaku usaha baru/ pelaku usaha kecil. Akibatnya, daya saing industri dan sektor pertanian terganggu, karena pelaku utama dalam sektor-sektor ini sulit berkembang tanpa akses yang adil terhadap modal dan teknologi.