Pemerintah perlu fokus pada potensi peningkatan produksi pangan guna mengurangi kebergantungan impor, terutama menekan maraknya alih fungsi lahan pertanian.

JAKARTA - Nasib petani makin tak menentu seiring adanya wacana potensi impor beras sebesar lima juta ton tahun depan, seperti disampaikan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, di DPR RI beberapa waktu lalu. Sebab, tahun ini saja dengan impor 3,5 juta ton gairah petani bertanam kian turun.

Peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan impor beras dengan jumlah sangat besar tentu menekan kondisi petani, terutama dari sisi harga, importasi bakal menekan nilai jual hasil panenan petani.

"Karenanya, saya sangat mengimbau pemerintah berpikir ulang lagi rencana impor beras dengan jumlah sangat besar tersebut. Apakah tepat berlandaskan El Nino sedangkan tahun depan kemungkinan sudah berakhir El Nino-nya," ujar Huda kepada Koran Jakarta, Kamis (16/11).

Senada, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan impor selalu menjatuhkan harga di tingkat petani. "Setiap ada impor masuk, harga beras pasti turun, yang juga berdampak di harga gabah di petani," ujarnya.

Dia menjelaskan, saat ini sebagian sudah mulai tanam dengan perkiraan panen raya pada Maret-April. Namun, saat panen raya, harga gabah justru cenderung anjlok.

"Semestinya, Bulog bisa mengambil peran untuk menyerap panen petani, tentu dengan harga yang menguntungkan petani. Namun itu tidak terjadi," tegasnya.

Dia menyebutkan kalau menggunakan harga sesuai ketentuan Badan Pangan Nasuonal (Bapanas) untuk penugasan ke Bulog sebesar 5.000 rupiah per kilogram (kg) untuk gabah kering panen (GKP), maka hal itu belum menguntungkan petani.

Pada kesempatan lain, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa, mengatakan perekonomian petani semestinya diperkuat di tengah kondisi saat ini, bukannya malah diganggu dengan wacana impor beras sebanyak lima juta ton.

"Mestinya Mentan fokus pada potensi peningkatan produksi pangan sejumlah berapa juta ton pada 2024, sehingga berangsur-angsur mengurangi ketergantungan impor pangan," tegas Awan.

Utamakan Lokal

Dia menjelaskan perubahan iklim dan geopolitik global yang menjadi ancaman krisis pangan semestinya mendorong pemerintah lebih serius menjalankan agenda kedaulatan pangan.

Namun, Awan khawatir wacana impor ini membuat petani tak bergairah meningkatkan produksi. "Itu yang dicemaskan, sebab mereka berpikir ngapain nanam kalau ujung-ujungnya impor," tandasnya.

Karena itu, dia menekankan pemerintah harus mengutamakan beras lokal hasil produksi petani dengan diikuti ketetapan harga yang tidak merugikan produsen.

Seperti diketahui, awal pekan ini, Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mengatakan Indonesia berpotensi untuk mengimpor beras hingga lima juta ton pada 2024 akibat tantangan pertanian yang makin kompleks dan potensi krisis pangan dunia.

"Meningkatnya permintaan akan pangan pascapandemi Covid-19 menyebabkan harga pangan semakin mahal yang dapat mendorong terjadinya darurat pangan global dan dapat berpotensi mengancam stabilitas sosial ekonomi dan politik Indonesia. Tahun ini, Indonesia memutuskan untuk mengimpor 3,5 juta ton beras dan berpeluang mencapai lima juta tahun 2024," kata Mentan Amran saat Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI di Gedung DPR, awal pekan ini.

Pemerintah Indonesia pada awalnya hanya mengimpor dua juta ton yang proses importasinya sudah dimulai sejak awal 2023. Namun, demi menjaga stabilisasi harga dan pasokan beras jelang akhir 2023 dan pesta demokrasi pemilu yang akan terjadi pada Februari 2024, pemerintah kembali memutuskan untuk mengimpor beras 1,5 juta ton lagi sehingga total impor beras pada 2023 mencapai 3,5 juta ton.

Baca Juga: