JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyatakan kebijakan yang akan ditempuh pada 2022 tetap pro growth atau mendukung pertumbuhan dengan menekankan pada empat aspek, yaitu kebijakan makroprudensial yang longgar, mendorong digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar uang dan pasar valuta asing (valas), serta mendorong Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta ekonomi syariah.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, di Jakarta, Kamis (2/12), mengatakan untuk kebijakan moneter tetap pro stability atau mengedepankan stabilitas keuangan, namun untuk kebijakan lainnya untuk mendukung pertumbuhan.

Untuk kebijakan makroprudensial yang longgar, bank sentral bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mendorong kredit dan pembiayaan ke sektor riil, termasuk kebijakan inklusif ke sektor-sektor prioritas.

Berkaitan dengan pendalaman pasar uang dan pasar valas, BI akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, OJK dan LPS, serta forum pendalaman dan penguatan sektor keuangan. "Tugas kami selain membangun infrastruktur, juga menembangkan produk-produk pelaku dan juga praising yang semakin modern berstandar internasional dengan fokus repo l, SBN, DNDF, interest rate, SWAP," kata Perry.

Menanggapi kebijakan BI itu, Pakar Ekonomi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, mengatakan tugas pokok BI menjaga nilai tukar rupiah dengan menjaga inflasi harus pro stability. Namun, seiring dengan upaya memulihkan ekonomi maka bank sentral bersama-sama pemerintah harus menempuh kebijakan pro pertumbuhan melalui pelonggaran makropudensial, sistem pembayaran, pengembangan pasar keuangan dan ekonomi keuangan inklusif dan hijau.

Untuk jangka pendek, pelonggaran makropudensial paling efektif, namun juga tergantung dari hasrat konsumsi dan investasi masyarakat. "Dalam kondisi ekonomi lesu saat ini terdapat pandangan "the cash is the king", sehingga hal ini akan mempengaruhi hasrat belanja dan investasi," kata Suhartoko.

Sementara itu, lembaga keuangan baik bank maupun nonbank masih dibayangi risiko kredit macet. Oleh karena itu, skema pelonggaran makroprudensial perlu dibarengi dengan upaya lain untuk mendorong hasrat konsumsi dan investasi. Kebijakan pro growth lainnya membutuhkan waktu untuk berdaya guna, karena berkaitan dengan mengubah kebiasaan dalam transaksi keuangan dan alat yang digunakan.

Bergantung Investasi

Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Wasiaturrahma, dalam kesempatan terpisah mengatakan perubahan lingkungan strategis karena disrupsi dan pandemi Covid-19 menjadi tantangan BI menjalankan tugas dan fungsinya.

"Pro growth tidak mungkin bisa tercapai jika investasi tidak tumbuh, karena sulit dalam perluasan kesempatan kerja. Padahal perluasan kesempatan kerja pasti meningkatkan income masyarakat yang berdampak pada meningkatnya demand of consumption," kata Wasiaturrahma.

Baca Juga: