JAKARTA - Untuk memacu pembiayaan ke sektor riil selama pandemi Covid-19, Bank Indonesia (BI) menerapkan bauran kebijakan yang terdiri dari empat elemen pokok, yaitu suku bunga, nilai tukar, manajemen aliran modal asing, dan kebijakan makroprudensial yang salah satu tujuannya mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dalam side event Presidensi G20 Indonesia, pada Kamis (17/2), memberi sinyal akan memulai pengetatan likuiditas ke perbankan secara bertahap.
Bank Sentral, sebut Perry, telah menginjeksi likuiditas ke perbankan mencapai 5,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dalam dua tahun terakhir sehingga akan dikurangi secara bertahap.
"Kami akan mulai menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) pada bulan Maret, Juni, dan September agar kembali seperti sebelum Covid-19," kata Perry.
Kendati begitu, otoritas moneter akan tetap memastikan perbankan bisa menyalurkan kredit dan membeli Surat Berharga Negara (SBN). Likuiditas perbankan saat ini masih sangat longgar dan suku bunga kebijakan 3,5 persen tetap akan dijaga di level rendah sampai terdapat tanda-tanda kenaikan inflasi secara fundamental.
Kendati demikian, bank sentral perlu melakukan kalibrasi bauran kebijakan mulai tahun ini, yang akan dimulai dengan kenaikan GWM.
"Kebijakan moneter akan mulai menjaga stabilisasi, namun kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar, serta inklusi ekonomi dan keuangan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi," kata Perry.
Ekonom dari Center of Reform on Economics, Piter Abdullah, baru-baru ini mengatakan kebijakan moneter BI dengan suku bunga rendah kurang efektif mendorong pembiayaan ke sektor riil.
Sebab, penurunan suku bunga acuan BI7days Reverse Repo Rate tidak diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Malah likuiditas yang dipompa ke perbankan hanya dimanfaatkan oleh bank membeli surat berharga, bukan menjalankan tugas utamanya yaitu fungsi intermediasi atau penyaluran kredit. "Hal itu yang membuat pertumbuhan kredit melambat, tetapi laba bank meningkat signifikan," kata Piter.
Dia pun mengimbau agar kebijakan BI dievaluasi, supaya ke depan bisa lebih efektif memainkan perannya dalam masa pemulihan ekonomi.
Efek Inflasi
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan menaikkan GWM itu untuk mengurangi efek inflasi karena telah terjadi kenaikan harga komoditas gas, minyak kelapa sawit dan kedelai.
"Kebijakan moneter seharusnya konsisten, apalagi di masa pandemi agar efektif di tengah penurunan daya beli dan di sisi lain harga komoditas mulai meningkat yang bisa memicu inflasi," kata Esther.
Kalau kebijakan moneternya tidak konsisten, dia memastikan akan berpengaruh secara tidak langsung pada laju pemulihan ekonomi nasional.